Oleh: Harits Abu Ulya –Pemerhati Kontra-Terorisme dan Direktur CIIA
Kalau sekiranya benar ada orang-orang HASMI maka bisa saja itu oknum dan mereka berafiliasi ke Jamaah Islamiyah (JI), karena beberapa orang seperti Abu Hanifah masih terkait dengan Sigit Qordowi (kel. Hisbah-Solo). Makanya saya katakan istilahnya oknum. Apa nama kelompok ini sengaja dimuculkan? inilah menurut saya tidak cermatnya Densus.
Harusnya ditangani aja secara profesional tidak perlu mengaitkan dengan kelompok mana pun. Dan jika disebut nama kelompok itu maka sama saja mengeneralisasi persoalan. Dan Polri punya PR baru untuk membuktikan apakah benar kelompok baru tersebut eksistensinya untuk melakukan berbagai tindakan terror atau terorisme? Atau itu hanya oknum saja. Pada kasus kejahatan yang senada (extra ordinary crime) macam korupsi, kenapa kalau ada yang ditangkap tidak disebut partainya atau nama universitas asal tempat dia menimba ilmu?.
Jadi ini merupakan kesengajaan untuk mendelegitimasi kelompok tertentu.Upaya ngawur untuk membangun citra buruk kelompok-kelompok Islam dan aktifisnya. Dan ada kemungkinan tidak berhenti di HASMI bisa saja merembet kepada kelompok-kelompok lain dengan modus tertentu yang sama atau beda sama sekali.
Menurut saya, ini dilakukan oleh aparat bukan faktor kepanikan.Tapi mereka sengaja mau memelihara isu terorisme ini dengan menangkapi banyak aktifis dengan bukti premature bahkan hanya berdasarkan dugaan. Dan merekayasa keterkaitan-keterkaitan dengan kelompok tertentu. Sebuah langkah pre-emptif aparat tapi banyak menabrak rambu-rambu hukum (criminal justice system).
Kasusnya banyak statement yang diungkap polri atau Densus paska penangkapan dengan proses dipengadilan ternyata tidak nyambung. Contoh kasus Insinyur dari Cibiru Bandung yang ditangkap dengan tuduhan mengancam keselamatan Presiden SBY dll, bahkan SBY sempat merespon tapi kenyataannya sampai di proses dipengadilan dakwaan tidak ada.
Proses penangkapan Densus, beberapa pekan lalu kasus orang yang di tangkap di Kalbar dibawa ke Jakarta akhirnya dilepas setelah tidak terbukti, sementara media gegap gempita sudah mewartakan Densus menangkap terduga teroris dan orang sudah mencapnya teroris. Dulu adiknya Yosefa bom Mapolresta Cirebon dan wartawan JAT juga jadi korban main tangkap, dan ini menyalahi prosedur hukum. Masih banyak kasus lainya.
Dan Rehabilitasi atas orang-orang yang salah tangkap tidak pernah dilakukan, kadang cuman dikasih uang 1 juta sebagai ganti rugi kerusakan materiil atau setelah fisik mereka babak belur.
Apa yang Densus lakukan itu arogan dan itu malah memantik perlawanan-perlawanan sporadis untuk orang-orang yang merasa terdzolimi. Contohlah poso seperti itulah faktanya, mereka orang-orang yang merasa terdzolimi dan mereka melakukan perlawanan. Apa yang dilakukan Densus88 disadari atau tidak telah menyemai, menumbuh suburkan dan melestarikan aksi teror oleh orang-orang lama maupun yang baru. Maka, tidak salah kalau ada orang yang berkomentar terorisme itu terkesan menjadi isu yang dipelihara.
Ada tiga arus yang perlu saya kritik. Pertama, Densus harus professional dan mereka tidak perlu mengkait-kaitkan dengan agama dan kelompok tertentu. Kalau ada orang yang melakukan teror, ya tindak saja karena islam pun tidak membenarkan hal itu. Dan Densus harus berani bertanggungjawab atas tindakan-tindakan exstra judicial killing selama menjalankan proyek kontra-terorisme.
Kedua, banyak media cetak maupun elektronik (missal, TV One, Metro TV) betul-betul lepas control dengan semena-mena melakukan penghakiman secara sepihak atas orang-orang yang terduga teroris. Bahkan selalu berusaha mengkaitkan aktifitas terror itu dengan simbol atau nilai-nilai Islam. Dan piciknya, para pekerja dan pemilik media yang phobi Islam itu telah banyak ambil keuntungan materi dengan tanpa peduli telah melecehkan Islam dan para aktifis pejuangnya. Bahkan secara sengaja membantu untuk membangun persepsi khalayak untuk membenci para aktifisnya.
Dan ketiga, Orang-orang yang merasa terdzolimi itu harus berfikir lebih matang untuk menuntut balas apalagi atas nama jihad karena bisa kontra produktif. Apalagi jika visi-misi yang digelorakan sangat besar yaitu menegakkan syariah. Dan penegakan sistem Islam (daulah Islam) yang akan menjalankan syariah jika caranya dengan aksi-aksi kekerasan akan melahirkan ikhtilaf (perdebatan) serta kontra produktif dan sekalipun sudah pada relnya tidak mengikuti mekanisme Demokrasi Jahiliyah, perlu kiranya kembali merujuk kepada tuntunan Rasulullah saw. Wallahu a’lam Bisshowab