Beberapa di antara nilai klaim yang diajukan, bahkan berselisih -dispute, ditunda pembayarannya-pending. Belum lagi bila berhitung dengan kemungkinan perlakuan audit telusur, yang bisa dilakukan di kemudian hari. Klaim Covid-19 tidak menjanjikan nilai keuntungan yang signifikan.
Sempat pusat kekuasaan justru naik darah, memarahi para pembantu kabinet yang masih kesulitan dalam mempercepat serapan anggaran pandemi, termasuk disinggung soal insentif tenaga kesehatan. Realisasinya hari ini? Masih perlu waktu tunggu, dan lihat bagaimana nanti. Jalur birokrasi pun masih berliku di era pandemik.
Bias Informasi Publik
Sang anggota dewan terhormat, dengan lancar melontarkan rumor tentang rumah sakit nakal. Pengubahan status pasien Covid-19, dikaitkan dengan persoalan penanganan yang menggunakan protokol kesehatan, ketika menangani pasien meninggal. Fakir nalar.
Harus bisa dilihat dengan jelas, bahwa terdapat kekurangan fasilitas dari jumlah alat pemeriksaan skala laboratorium RT-PCR, yang dibutuhkan di tingkat nasional guna melakukan pendeteksian Covid-19. Kondisi tersebut ditambah pula, dengan mulai meningkatnya kapasitas testing massal. Apa konsekuensinya? Antrean pemeriksaan.
Dengan begitu, terjadi penumpukan pemeriksaan, yang berakibat pada lamanya waktu tunggu hasil. Bila dalam durasi masa tunggu tersebut, pasien yang terindikasi terjangkit Covid-19 meninggal dunia, maka sudah barang tentu protokol kesehatan dalam melakukan pemulasaran jenazah. Prinsipnya minimalisasi risiko.
Kenapa tidak menunggu saja sampai hasil keluar? Ketetapan prosedur standar tersebut, dikeluarkan oleh pihak otoritas terkait. Bahkan diberi batas waktu hitungan jam, untuk segera memakamkan jasad pasien dengan indikasi Covid-19.
Kenapa tidak diserahkan ke keluarga saja? Ini kasus khusus pandemik, sehingga harus diserahkan kepada petugas yang telah mendapatkan pelatihan serta dibekali dengan sarana pelindung diri yang memadai.
Kalau ternyata di kemudian hari, hasilnya negatif Covid-19, bukankah itu menjadi upaya menaikan klaim tagihan pelayanan? Ngawur bin ngaco.
Ingat prinsip utama yang sudah disebut di atas, minimalisasi risiko. Prinsip ini pula termuat dalam etik medis, yakni, primum non nocere, atau first, do no harm -jangan merugikan. Dalam upaya mitigasi risiko, harus dipersiapkan skenario dan strategi menghadapi yang terburuk, untuk mencegah hal buruk lain terjadi.
Termasuk upaya mengantisipasi potensi penularan wabah, serta mengambil keputusan terbaik, sebelum tegak diagnosis yang dikarenakan aspek teknis waktu tunggu dan antrian pemeriksaan. Maknanya pencegahan.
Sebagai penutup, prinsip etik medis juga mencakup aspek profesionalisme, officium nobile -menjaga martabat dan kehormatan diri, dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab atas profesi yang diemban, sebagai amanah. Jadi sulit, bila hanya melihat dalam ruang sempit atas tudingan rumah sakit nakal dengan angka klaim.
Bahkan Direktur Jenderal WHO, dr Tedros Adhanom, dalam posting di akun sosial medianya mengambil kutipan menarik, there is no health without health workers -tidak ada kesehatan tanpa peran serta pekerja kesehatan.
Mengutip perawat di Madrid -Spanyol, Aroa Lopez, dalam lansiran dr Tedros Adhanom, bahwa terdapat kesadaran baginya sebagai profesi tenaga kesehatan, meski menempatkan diri pada posisi yang berbahaya, bahkan berisiko, bukan hanya kelelahan fisik tetapi juga aspek mental. Namun begitu, satu yang terbersit dibenaknya adalah, to care for people and to save lives.
Dalam pandemik ini, kita sedang berhitung nilai berharga atas sebuah nyawa atas nama kemanusiaan, bukan sekadar mengkalkulasi angka-angka tanpa makna, apalagi hanya sekadar menyorot soal klaim tagihan biaya. Sungguh bebal pikir yang hakiki.
(Penulis: Yudhi Hertanto, Program Doktoral Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid)
(glr)