Tenaga Kesehatan, Terpapar, Dibungkam, Dan Diserang

Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi semua pihak. Di dalam kondisi yang sedemikian, sepatutnya dibangun sikap untuk mampu berkolaborasi dan bekerja sama, dalam relasi mutual trust.

Logika Bengkok RS Nakal

Belum lurus. Konfirmasi di ruang rapat wakil rakyat bersama sejumlah kementerian itu, seolah menjadi penguat sinyalemen yang sudah santer beredar di publik tentang konspirasi bisnis Covid-19.

Para peminat teori konspirasi seolah mendapatkan angin segar, untuk terus menghujat dan melakukan perundungan kepada institusi dan tenaga medis. Sangat disesalkan.

Disebut pula data pasien dimanipulasi agar beroleh untung. Diksi rumah sakit nakal mencuat, dianggap mengakali status pasien menjadi Covid-19, demi nilai klaim. Prasangka sejenis ini jelas sesat dan sungguh mensesatkan.

Nampak keruh wajah penanganan pandemik di tanah air. Jumlah kasus harian terlapor konsisten menanjak. Belum bisa dipastikan puncak penularan mencapai titik tertinggi. Pembukaan kembali interaksi sosial, melalui frasa new normal, diralat menjadi adaptasi kebiasaan baru, membuka pertambahan kasus baru.

Tuan dewan terhormat, membuka pertanyaan retoris, bermodal sebaran berita di media sosial. Padahal, viralitas di jagat digital membutuhkan ruang validasi. Tidak pelak, label buruk itu semakin melekat, dan dicorengkan ke muka tenaga dan institusi medis. Simalakama, dilayani mendapatkan tuduhan, tidak melayani disebut tidak profesional dan mengabaikan kode etik.

Logika mencari keuntungan di situasi sempit seperti pandemik, adalah bentuk kegagalan bernalar. Logika yang bengkok. Bahkan salah sejak premis itu diajukan. Lihat saja, anggaran kesehatan dalam mengatasi pandemik, yang besarnya 87,55 triliun serapannya baru 5,12 persen, sekitar 4,48 triliun saja. Sangat rendah.

Apakah hal itu mampu dimaknai sebagai sebuah keuntungan? Tentu saja tidak. Seluruh institusi pelayanan kesehatan, justru tengah mengalami periode surut karena jasa layanan bagi pasien umum non Covid-19 justru drastis anjlok, lebih 50 persen di bawah kapasitas normal. Jelas rugi.

Sementara itu, biaya operasional justru meningkat, termasuk mengadakan berbagai sarana perlindungan, bagi keamanan tenaga medis dan seluruh pengunjung maupun pasien di rumah sakit. Melempar wacana tentang rumah sakit nakal tanpa basis bukti, amat menyakitkan.

Proses Klaim Berliku

Persepsi negatif publik harus diluruskan. Dimulai dari para pemangku kebijakannya. Ketika pandemik melanda, arah kebijakan mengalami dinamika. Peraturan terus berubah dalam merespons situasi yang berkembang. Hal wajar.

Begitu juga dengan proses penjaminan pembayaran klaim atas pemberian layanan bagi pasien Covid-19, sekaligus terkait stimulus insentif yang dijanjikan akan diberi kepada tenaga medis. Adakah nilai nyawa, bisa dibarter dengan nilai klaim? Tengok jumlah pemberi layanan medis yang tertular dan meninggal. Aneh.

Bukankah para tenaga medis, mulai dari perawat, bahkan tenaga dokter maupun para spesialis yang telah gugur itu, juga memiliki kehidupan dan keluarga yang menanti mereka kembali di rumah?

Sekadar memberi sudut pandang yang berbeda, kalau dipandang memperoleh untung dari klaim layanan Covid-19, maka sesungguhnya medan penagihan klaim pun bukan hal yang mudah. Proses klaim melewati tahap verifikasi, melibatkan sejumlah kelengkapan dokumen, dengan perangkat diagnosa yang solid. Bukan barang sepele, dan mustahil kongkalikong.