Telaah Kecil Geopolitik: Perang Hibrida di Myanmar

Kunjungan Menhan AS merupakan kelanjutan pertemuan Quadrilateral Securiy Dialogue (QSD) atau dikenal dengan istilah “Quad”. Quad ialah aliansi informal tahun 2000-an terdiri atas AS, Australia, India dan Jepang guna mengimbangi kebangkitan Cina.

Secara geopolitik, lahirnya Quad merupakan ujud ‘balancing‘ dalam menyikapi munculnya kekuatan baru (Cina).

Geopolitik mengajarkan, ada tiga konsep dalam menyikapi kekuatan baru yang muncul di panggung global, antara lain: 1) balancing; 2) hedging; 3) bandwagoning. Singkat narasinya, bahwa balancing merupakan upaya perimbangan munculnya kekuatan baru yang dipersepsikan sebagai ancaman; hedging itu sikap membatasi dan/atau melindungi diri dari hal yang dianggap ancaman; dan bandwagoning justru bersekutu dengan kekuatan baru.

Kebangkitan Jerman jelang Perang Dunia II, misalnya, disikapi secara balancing oleh Inggris dan Prancis, akan tetapi Italia justru memilih bandwagoning. Ia merapat ke Jerman, beraliansi dengan kekuatan baru. Sekali lagi, Quad itu bentuk dari balancing dalam rangka menyikapi kekuatan baru (dan kebangkitan) Cina. Nah, bagaimana Indonesia bersikap atas kebangkitan Cina? Lain waktu kita bahas.

Ruang (living space) atau lebensraum merupakan inti geopolitik. Menurut Karl Haushofer, ruang merupakan wadah dinamika politik dan militer (menurut penulis, ruang juga wadah dinamika ekonomi). Ya, geopolitik selalu mengaitkan ruang dengan kekuatan politik dan fisik dimana dalam praktik bahwa kekuatan politik dan militer tidak hanya menginginkan ruang secara fisik geografi, tetapi juga penguasaan ruang dalam arti ‘ruang pengaruh’ (sphere of influence).

Dalam geopolitik, jika ruang pengaruh diperluas akan ada yang diuntungkan dan dirugikan. Dan kerugian akan semakin besar jika diraih melalui perang (militer).

Era Cold War contohnya, kedua adikuasa (Uni Soviet dan AS) saling memperluas dan memperebutkan sphere of influence di negara-negara dunia ketiga baik menariknya sebagai sekutu ataupun sekedar menjadi negeri sahabat (friendly countries), atau minimal tidak mesra dengan pihak lawan.

Pada kondisi semacam itu, tidak peduli suatu negara dikelola secara otoriter atau tidak — yang penting ‘setia’ kepada pimpinan kubu. Maka tidak heran jika pemerintahan Mobutu di Kongo yang dikenal kejam dan bengis justru dirangkul oleh AS, tetapi usai Cold War ia ditumbangkan dengan tuduhan pelanggaran HAM dst. Geopolitik mengajarkan, ketika ruang tidak memiliki nilai strategis maka akan dicampakkan. Tampaknya usai Cold War, Kongo dianggap tak punya nilai strategis di mata Paman Sam.

Mengambil hikmah dari sejarah Cold War (1947-1991) antara Uni Soviet versus Paman Sam, agaknya — selain menyikapi kebangkitan Cina secara balancing, AS juga menggunakan kembali strategi pembendungan (containment strategy) ketika melawan Uni Soviet tempo lalu. Bagi Paman Sam, containment strategy dahulu cukup efektif membendung gerak komunisme di luar negaranya terbukti dengan pecahnya Uni Soviet.

Tampaknya inilah yang terjadi di Myanmar, selain merupakan medan tempur (proxy war) antara Cina versus AS, juga terdapat perang-perang lainnya sebagai ikutan, entah peperangan secara diplomasi, perang asimetris, tarik menarik hegemoni dan seterusnya. Ya. Ada perang campur di Myanmar atau istilah kerennya Perang Hibrida (Hybrid War). Siapa bakal tumbang?

Masih ada episode paling mencekam yaitu: peperangan militer secara terbuka di Laut Cina Selatan.

End [GlobalReviewIndonesia]

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)