Kelompok musik asal Bandung “Kuburan” dan Nunun Nurbaeti mungkin tidak saling mengenal secara pribadi. Namun keduanya diikat oleh satu kata yang pernah sangat populer beberapa bulan lalu, yakni: Lupa.
Nunun Nurbaeti, isteri Jend. (Pol) Adang Daradjatun, mantan Wakapolri yang sekarang menjadi anggota DPR dari Fraksi PKS, telah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap Miranda Gultom saat pemilihan Gubernur Bank Indonesia beberapa waktu silam. Nunun sejak lama ngumpet di Singapura dan berkali-kali mengaku lupa jika ditanya aparat hukum soal uang suap dalam kasus itu. Namun, tentu saja, Nunun tidak pernah lupa ketika berbelanja di berbagai mal mewah di Singapura. Mungkin penyakitnya tergolong langka, bisa disetel kapan lupanya dan kapan ingatnya.
Sama saja dengan Nunun, Nazarudin ketika tulisan ini dibuat juga masih ngumpet di Singapura. Kali ini bukan Nazarudin si tukang kacamata atau pun Nazaruddin penjaga Rumah Makan Padang di bilangan Jakarta Pusat, namun Nazarudin si Bendahara Partai Demokrat, yang diduga kuat terlibat dalam skandal korupsi proyek Wisma Atlet Sea Games di Jakarta.
Nunun Nurbaeti dan Nazarudin hanyalah potret kecil dari mental dan moral pejabat pemerintah negeri ini sekarang. Rakyat sudah banyak yang tahu jika aparatur negara ini nyaris semuanya bukan lagi bekerja demi kemaslahatan rakyat, tapi demi memperkaya diri sendiri, memperkaya keluarganya, dan memperkaya kelompoknya. Rakyat hanya dijadikan kuda beban, hanya dijadikan sebagai obyek pajak, di mana uangnya dikumpulkan dan oleh para pejabat itu kemudian dijadikan anggaran untuk membeli fasilitas mobil mewah, pelesiran ke luar negeri, rumah dinas mewah, gaji dan honorarium setinggi langit, dan berbagai pos pengeluaran yang bisa bikin kodok tertawa.
Setiap tahun paska Orde Baru, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sebelumnya, di zaman Orde Baru-Nya Jenderal Harto, yang diperingati adalah hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober. Ini tentu sarat dengan muatan politis masing-masing penguasa. Beberapa hari belakangan, berbagai perbinangan tentang Pancasila kembali mengemuka, baik di dalam diskusi radio, teve, maupun suratkabar. Banyak yang menganggap perlunya kembali menggali nilai-nilai Pancasila untuk mengobati negeri yang sedang sakit parah seperti sekarang ini. Seolah-olah parahnya penyakit yang ada sekarang ini lepas dari masa ketika Pancasila masih dibacakan di mana-mana.
Mereka mungkin lupa, jika hampir semua pejabat pemerintahan negara yang sedang berkuasa sekarang adalah para alumnus Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, atau yang pernah sangat populer dengan nama “P4”. Banyak maling uang rakyat sekarang ini adalah alumnusnya.
P4 Untuk Melanggengkan Status Quo
Di dalam Islam dikenal kaidah “Sesuatu itu berawal dari niat”. Jika niatnya baik, maka hasilnya insya Allah akan baik, dan juga sebaliknya, jika niatnya tidak baik maka hasilnya pun demikian juga. Jika hal ini diseret ke ranah politik, maka kita akan menemukan catatan sejarah jika Program P4 itu memang memiliki niat tidak tulus untuk menciptakan manusia Indonesia yang utuh. Niatnya semata-mata agar kekuasaan Jenderal Suharto bisa tetap langgeng dan abadi.
Lahirnya P4 tidak bisa dipisahkan dari proses lahirnya Orde Baru. Untuk memelihara status quo, seorang penguasa harus menciptakan sistem politik yang mendukung kekuasaannya, menjadikan rakyatnya sebagai pendukung setia, bagaimana pun caranya. Kekuasaan Orde Baru yang terpusat pada diri seorang Jenderal Suharto sejak kelahirannya mempersonifikasikan dirinya sebagai satu-satunya pelindung Pancasila. Pancasila adalah Suharto dan Suharto adalah Pancasila.
Sebab itu, Suharto berusaha semaksimal mungkin mengekspolitasi pandangan-pandangannya dengan mengatasnamakan Pancasila. Pada 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang disebutnya dengan istilah sanskrit: Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program ini maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara nasional pada semua lapisan masyarakat. Tujuannya untuk membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut, opini rakyat diarahkan pada satu-satunya pilihan yakni mendukung Orde Baru. Pancasila pun telah disulap menjadi tuhan baru dan pada tahun 1985, semua organisasi di negeri ini diwajibkan hanya menuhankan Pancasila sebagai asas tunggal dan membuang asas lainnya, termasuk asas Islam. Sebab itu, Pancasila telah berubah menjadi thagut, atau tuhan selain Allah Swt.
Penataran P4 pada hakikatnya adalah indoktrinasi untuk melanggengkan status quo. Indoktrinasi ini tentunya dibungkus dengan berbagai kalimat-kalimat indah dan terdengar bagaikan istilah-istilah surgawi: persatuan, kesatuan, kemanusiaan, musyawarah untuk mufakat, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Namun semua ini ternyata tidak mengubah apa pun.
Pancasila Tidak Mengubah Indonesia Menjadi Lebih Baik
Jenderal Suharto telah menjadikan Pancasila sebagai ikon kekuasaannya. Berarti secara de facto sejak 1 Oktober 1965. Berbagai proyek nasional diselenggarakan atas nama Pancasila selama puluhan tahun. Namun semua itu tidak mengubah karakter bangsa menjadi lebih baik. Korupsi tetap menggila, kemaksiatan semakin menjadi, dan di mana-mana kerusakan dalam skala masif malah terus bermunculan.
Tidak perlu dipaparkan secara panjang lebar lagi betapa penguasa Indonesia sampai hari ini masih saja mewarisi pola pikir yang salah. Alih-alih ingin memperbaiki kondisi negeri, yang terjadi malah semakin membuat bangsa ini hancur. Tarbiyah Pancasila telah gagal total menjawab kebutuhan bangsa yang mendesak ini, karena awalnya Tarbiyah Pancasila alias Penataran P4 memang bukan dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi bangsa, namun semata-mata demi menjadikan rakyat Indonesia lebih jinak dan tanpa reserve mendukung kekuasaannya Suharto.
Sudah selayaknya kita sebagai umat Islam yang dikenal sebagai umatan tauhid kembali kepada syariat Islam, bukan malah “mengislamkan Pancasila” seperti kelakuan sebagian politikus yang asap dapurnya, hidup dan matinya, sangat tergantung pada gaji dan fasilitas negara. Kita harus berani menggugat ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah kadaluarsa.[rz]