Eramuslim.com – Sudah jadi pola kekuasaan, selalu intervensi dalam proses politik. Mulai Mega, SBY hingga Jokowi. Terutama pencalonannya di periode kedua. Bukan rahasia umum lagi.
Bagaimana jika putra mahkota yang jadi calon? Apakah sang bapak akan intervensi?
Pertanyaan ini muncul sebagai respon terhadap ramainya pendapat publik terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang akan maju jadi calon walikota Solo.
Semula rekomendasi DPC PDIP diberikan kepada Achmad Purnomo, kader PDIP yang saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Ini hasil penjaringan dan penyaringan dari semua kepengurusan Anak Ranting maupun Anak Cabang.
Tapi, belakangan nama Purnomo tergusur oleh Gibran, putra sulung Jokowi. Pertanyaan sederhananya, apa mungkin Gibran bisa menggeser nama Purnomo tanpa keterlibatan Jokowi? Kecurigaan ini makin menguat ketika Purnomo dipanggil ke istana dan diberi tahu bahwa DPP PDIP urung mencalonkannya.
Kok dipanggil ke istana? Bukannya ini urusan pencalonan Si Sulung, bukan urusan rakyat? Tepatkah menggunakan istana untuk kepentingan pencalonan Sang Putra?
Langkah Jokowi panggil Purnono ke istana mendapat banyak kritik. Dianggap menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan partai, dan bahkan keluarga.
Purnomo kecewa? Sebagai manusia biasa, wajar jika ia kecewa. Kecewa “ala Solo”. Menggunakan bahasa “satire” dalam pengungkapkannya. “Saya sudah menduga akan seperti ini”, katanya kepada awak media. Bukan hanya Purnomo, para kader partai banteng di Solo mungkin juga merasakan hal yang sama. Kecewa!
Purnomo itu senior, kader tulen PDIP, jauh lebih berpengalaman dan matang. Setidaknya ia saat ini menjabat sebagai wakil walikota Solo. Impian seorang wakil walikota pasti ingin jadi walikota. Kesempatan itu pupus, dan diserobot oleh Gibran yang notabene kader baru di PDIP.
Adakah kompensasi yang ditawarkan Jokowi kepada Purnomo? Inilah yang jadi rumor pasca Purnomo keluar dari istana.
Jika benar ada kompensasi, sangat tepat jika Purnomo menolaknya. Penolakan Purnomo bisa jadi referensi bagi pendidikan karakter para politisi. Pertama, ini soal harga diri. Selama ini, dunia politik kita sudah tak kenal harga diri. Kedua, soal prinsip. Secara prinsip, Purnomo lebih layak maju dari pada Gibran. Dan prinsip ini harus dipegang teguh, tanpa memberi ruang untuk dinegosiasi. Ketiga, Purnomo mesti sadar ini urusan pribadi dan partai, bukan urusan negara. Maka, tak tepat melibatkan kompensasi apapun dari negara.
Lalu, apa deal Mega dengan Jokowi terkait rekomendasi PDIP kepada Gibran? Tak ada makan siang gratis. Dalam politik, setiap keputusan ada transaksinya. Apa ada hubungannya dengan RUU HIP yang diperlunak Jokowi jadi RUU BPIP? Boleh jadi, itu salah satunya.