“Tentu saja kau tidak melihat dunia, apa adanya, Melainkan sebagaimana dunia ini tampak dari tempatmu, melalui kaca yang diwarnai sesuai keinginanmu; dan tempatmu ini begitu kau sayangi sehingga kau tak ingin meninggalkannya. Tetapi berusahalah; dan kami akan memperlihatkan negeri, dimana keburukan menjadi keindahan dan seolah-olah ketidakteraturan adalah keteraturan paling sempurna…” Adam Weishaupt, pendiri orde Illuminati, 1786
Untuk kesekian kalinya insiden bom mengusik ketenangan rakyat Indonesia. Rakyat yang baru saja memulai fase cooling down setelah menemukan figur yang akan memandu Indonesia dalam perjalanan lima tahun ke depan, harus mendapatkan tamparan keras dari insiden bom yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada tanggal 17 Juli lalu.
Insiden bom ini tidak hanya menimbulkan keresahan rakyat dari sisi keamanan tetapi juga menstimulasi rakyat untuk mempertanyakan kemampuan pemerintah dalam mencegah terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Pertanyaan ini tentu saja harus dijawab dengan pembuktian awal bahwa selain percepatan penyelesaian insiden bom ini, pemerintah juga harus mampu memberi jaminan rasa aman dari aksi teror di masa yang akan datang.
Timbul pertanyaan besar saat ini, yaitu apa motif pelaku dibalik insiden bom tersebut?. Muncul banyak spekulasi terhadap insiden ini. Ada yang menitikberatkan pada pernyataan sikap anti asing, penentangan terhadap komersialisme secara simbolik, bahkan sampai pada strategi penjatuhan lawan usaha. Namun yang cukup menarik dan relevan dengan iklim politik saat ini adalah ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan umum yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu.
Untuk melacak motif dari pelaku insiden bom maka diperlukan penelusuran yang dalam dan menyeluruh terhadap bukti dan fakta yang terkait. Sehingga diperoleh gambaran yang komprehensif guna penyelesaian kasus insiden bom ini. Gambaran itu juga berguna untuk mengetahui ide besar dari latar belakang eksekusi peledakan bom tersebut.
Fakta yang menarik dari setiap insiden teror yang dilakukan adalah bahwa setiap aksi teror merupakan sebuah bentuk kemasan rekayasa ide untuk memperoleh publisitas. Bagi pelaku, awareness dan reaksi terhadap ide sangat penting meskipun orang tidak tahu mengenai perihal ide besar dari aksi teror yang dilakukan. Seperti pada peristawa Bom Bali, para pelaku ingin memperlihatkan bagaimana sikap mereka terhadap kondisi budaya wisatawan asing yang dianggap sebagai bentuk kemaksiatan. Sehingga perlu ada sikap yang tegas dan efektif berupa peledakan bom yang sekaligus mengakomodir bentuk kekecewaan mereka terhadap pemerintah setempat.
Bila ditinjau dari sisi publisitas maka masifnya awareness dan reaksi terhadap aksi bom yang dilakukan tentu saja menjadi bentuk branchmark keberhasilan bagi para pelaku. Semakin banyak pihak yang bereaksi semakin tinggi nilai jual idenya meskipun bisa jadi membiaskan target yang sebenarnya ingin mereka capai. Sebab reaksi dari banyak pihak terutama yang tidak menjadi target operasi dapat menjadi penghambat penyampaian ide terhadap target utama yang diinginkan. Sehingga hal tersebut dapat mengurangi esensi ide yang ingin mereka sampaikan.
Dengan mengetahui bahwa ide teror bersemi apabila memperoleh publisitas maka seharusnya pemerintah dapat membuat penyikapan yang tepat, guna meminimalisir dampak dari insiden bom yang terjadi. Namun kenyataannya penyikapan pemerintah khususnya pidato presiden cenderung menyemai publisitas terhadap insiden bom tersebut.
Presiden dalam pidatonya terkesan sedikit memolitisasi insiden bom ini. Dalam pidatonya presiden menyatakan bahwa ada indikasi sekolompok pihak yang mengancam dirinya karena tidak setuju dengan hasil pemilihan umum. Pernyataan ini tentunya menimbulkan kontroversi. Kontroversi ini bukan hanya berdampak pada para partisipan di pemilihan presiden tetapi juga menggambarkan adanya kemungkinan kondisi keamanan yang kurang kondusif ke depannya.
Sehingga secara tidak langsung pemerintah telah memberi ruang dalam pengakomodasian tujuan teroris tersebut. Untungnya dampak pernyataan pidato presiden tersebut tidak berpengaruh besar pada stabilitas nasional. Kondisi ekonomi yang cukup stabil, dikarenakan fundamental yang kuat, menopang kondisi politik dalam masa transisi.
Dari laporan Bapepam-LK, pasar saham sempat melemah 2,66%, tetapi dalam 1 jam ada penguatan. Sampai penutupan sesi pertama, koreksi saham 1,20%. Harga saham akan kembali normal dalam 2 – 3 hari (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati). Nilai rupiah yang pada sore hari jum’at saat terjadi ledakan bom sempat melemah dari Rp 10.140 per dollar menjadi Rp 10.250 per dollar pada esok harinya menguat menjadi Rp 10.135 per dollar. Asalkan kondisi terus membaik maka rupiah dan indikasi ekonomi lainnya bisa relatif lebih stabil setelah insiden bom (Dradjad H Wibowo).
Yang paling penting dalam pemulihan kondisi negara pasca insiden bom ini adalah pemerintah harus bisa menjaga kestabilan politik. Jangan sampai ada goncangan lagi yang akan mempengaruhi stabilitas nasional. Masa transisi menuju pemerintahan yang baru sangat rentan terhadap isu konflik yang dapat memperkeruh suasana. Oleh sebab itu, pemerintah harus terus menjaga harmonisasi dan meminimalisir gesekan yang terjadi antar golongan.
Dengan terus mengkerdilkan dampak dari insiden bom ini menjadi modal bagi bangsa kita untuk senantiasa tidak terganggu dengan insiden yang serupa. Sehingga menurunkan insentif para pelaku bom untuk melakukan aksi yang sama. Selain itu pemerintah harus memperkuat sistem ketahanan nasional. Hal itu dapat memperkecil kemungkinan untuk tumbuh suburnya para teroris di negeri ibu pertiwi ini.
Tidak ada yang boleh bersendawa puas akibat gemuruh bom yang mendera negeri ini. Aksi teror jelas-jelas merupakan kejahatan kepada seluruh umat manusia, Crime against humanity, pelanggaran terhadap hak manusia yang paling asasi dan universal.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia harus menjadikan insiden bom ini sebagai bundelling van alle revotionare atau pengikat bersama seluruh kekuatan revolusioner bangsa (Bung Karno).
Wd.kusuma @yahoo.com/Mhs FE UI-2004