Terus, beban hutang luar negeri yang membuat semua kita ngeri. Ngeri bagaimana nanti membayarnya. Apalagi? Produktivitas? Silakan buka sendiri data Badan Pusat Statistik (BPS). Lapangan kerja? Makin parah kalau ini yang mau dibahas di panggung kampanye Ko-Ruf.
Daya beli rakyat melorot. Lonjakan harga-harga akibat pelemahan nilai rupiah semakin menghimpit. Kebalikannya, para pekebun sawit dan karet sedang mengalami periode yang paling parah setelah harga buah segar terbanting ke angka 600 rupiah perkilo. Mau diikut anjuran Jokowi agar kebun sawit diganti dengan tanaman petai atau jengkol, tentu tidak bisa bim-salabim.
Apalagi? Prestasi di bidang pelayanan kesehatan? Tambah runyam kalau ini yang dibawa kampanye. BPJS Kesehatan sarat hutang kepada penyedia layanan kesehatan, i.e. rumah-rumah sakit. Banyak yang terancam tutup karena tak sanggup lagi memikul piutang yang jumlahnya sangat besar bagi mereka. Ada yang berpiutang 3 miliar, 10 miliar, dsb.
Bagaimana dengan politik luar negeri? Ini lagi, jeblok! Indonesia sedang sakit gigi, tak kuat berbicara soal penyiksaan umat Islam Uighur di Provinsi Xinjiang. Kekejaman dan kebiadaban pemerintah RRC ini berlalu begitu saja. Jokowi tak bisa bilang apa-apa gara-gara banyak pinjam duit dari Beijing. Para diplomat Indonesia banyak yang menganggur karena tidak ada yang bisa mereka diplomasikan di pentas internasional.
Itulah prestasi Presiden Jokowi.
Tidak ada yang bisa dijadikan headline oleh Erick, ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Ko-Ruf. Sekarang, dia dan timnya tidak lagi mampu menjumpai publik dengan sajian yang substansial. Dengan menu yang elegan.
Pemerintah tidak memiliki kompetensi ekonomi yang bisa dibanggakan di depan umum. Mereka menjadi buntu untuk berbicara tentang kebijakan ekonomi. Atau, tentang paket moneter yang akan menyelematkan nilai rupiah sehingga neraca pembayaran impor tidak menyakitkan.