Tafsir Kematian Enam Pemuda Muslim

Ada wartawan dari media massa tertentu, profesor dari lembaga tertentu, dan wakil rakyat dari partai tertentu yang begitu bersemangat dan tanpa menggunakan hati, membenarkan pembunuhan itu sebagai bentuk bela diri petugas hukum. Tapi mereka tak akan seberuntung para pemuda muslim itu. Sang wartawan akan segera dilupakan, karena cuma seorang suruhan dari pemilik media atau kekuatan tertentu. Sang profesor akan segera dicibiri dan kematiannya pasti tidak akan seterhormat para pemuda muslim itu. Sedangkan wakil rakyat dari partai tertentu yang disebut “tidak punya otak” oleh pimpinan Front Pembela Islam, mungkin akan menghabiskan hartanya untuk mengobati penyakit sebelum ia mati. Lalu ia akan dilupakan begitu saja.

Kematian enam pemuda muslim itu mungkin baru awal dari serangkaian kematian umat Islam yang akan terjadi, karena potensi benturan telah tercipta. Duka cita bercampur amarah telah menjalar di kalangan umat Islam, terutama yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Sebaliknya, lingkaran kekuasaan tetap bertahan bahwa penembakan enam pemuda muslim tersebut merupakan tindakan yang dibenarkan secara hukum.

Kini tinggal berdoa semoga tragedi sekitar 400 tahun silam tidak terjadi lagi. Yakni ketika Raja Amangkurat I (1646-1677) yang bersekutu dengan penjajah Belanda, membantai 6.000 ulama karena mendukung pemberontakan Trunojoyo, seorang pangeran dan ulama dari Madura. Demi kekuasaan, Raja Amangkurat I berkomplot dengan penjajah Belanda. Amangkurat membantai bangsanya sendiri dan membagi sebagian kedaulatan Kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda.