Keputusan soal revisi UU KPK, Omnibus Law, pemindahan ibukota, menaikkan tarif BPJS, serta tidak menurunkan harga BBM hanya sedikit contoh tidak perhatian Jokowi pada rakyat miskin dan lemah. Harta pembagian sembako cap “Presiden” pun membuat rakyat berlari-lari dan segelintir saja yang mendapatkan pembagian.
Presiden yang memihak investor dalam “segala” keputusan itulah yang disaksikan rakyat banyak. Prabowo nampaknya “kelilipan”.
Syahadat “asyhadu” (saya bersaksi) Prabowo soal Jokowi mungkin bisa diabaikan dan dimaklumi karena ia sekarang adalah “pembantu” Jokowi. Menhan yang meluas (atau menyempit) dari pertahanan negara menjadi pertahanan Jokowi. Benteng atau tameng.
Beberapa pengamat menilai seorang Letnan Jenderal TNI, bekas pesaing yang dinilai sebagai pemenang Pilpres, mantan Pangkostrad dan Danjen Kopasus bisa bersaksi seperti itu hanya jika ada dalam “todongan senjata”. Itupun jika ia pengecut.
Yang lebih parah adalah juru tafsir Waketum Partai Gerindra, Arief Poyuono yang justru memuji muji bahkan menjilat. Menurutnya Jokowi adalah “the real leader”. Memang sudah lama Arief Poyuono ini adalah “Jokower” di kubu Gerindra, sejak sebelum Pilpres pun. Waketum yang menyebut penerus Presiden setelah Jokowi adalah Gibran atau Puan, ini tentu membela habis pujian Prabowo atas kang mas Jokowi.
Syahadat Prabowo terus menggema entah sampai kapan. Hanya saja catatan ketidakpercayaan pada Prabowo tentu semakin banyak pula. Ada juga yang bersyukur bahwa dalam Pilpres kemarin Prabowo “dikalahkan”, sebab jika menang pun, watak “pecundang” seperti yang sekarang terbaca ini tidak juga membuat kebaikan bagi negeri. Banyak kelak yang dikecewakan dan menyesal juga.
Ada hikmah rupanya.
Kisah Jokowi dan Prabowo masih berlanjut. Keduanya memang pemerintah, bukan rakyat. Jadi apapun itu, yah maklum sajah. (end)
(Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan)