Syahadat Prabowo atas Jokowi, Quo Vadis?

Hal yang menarik perhatian saya bukan soal dukung-mendukung tetapi pilihan kata (diksi) ‘bersaksi’. Diksi ini sering dipergunakan dalam teologi, dan menyangkut soal kepercayaan tanpa keraguan. Diksi itu perlu diseksamai karena mencerminkan pikiran. Kita ingin tahu pikiran Prabowo tentang kepercayaan.

Kepercayaan Buta

Kepercayaan adalah kata yang kompleks. Kata itu menurut Google Translate memiliki 23 sinonim dalam bahasa Indonesia, dan 18 sinonim Bahasa Inggris. Adapun kepercayaan yang kita maksudkan di sini adalah kepercayaan kepada orang/lembaga publik, dalam bahasa Inggris disebut (institutional) trust. Jadi kita tidak membahas kepercayaan kepada Tuhan yang biasanya disebut keyakinan, belief atau faith.

Saya ingin membahas lebih mendalam soal trust sebab trust memiliki kedudukan yang esensial dalam demokrasi. Trust adalah hubungan yang terbentuk diantara orang yang memimpin dan rakyat yang patuh. Kekhasan demokrasi menyatakan bahwa rakyat harus patuh kepada pemimpin namun pemimpin tunduk kepada kehendak rakyat (Carol C. Gould, 1988). Maka kepercayaan yang menghubungkan keduanya mestilah trust yang tidak mengabaikan kemungkinan adanya distrust.

Sementara itu dalam taklimatnya di atas Prabowo meminta kader-kadernya untuk (1) mempercayai dirinya dan karena itu (2) mempercayai Jokowi. Ringkasnya, Prabowo bilang, “…karena kamu percaya kepada saya maka kamu harus percaya kepada Jokowi”.

Ada dua alasan Prabowo ajukan untuk argumennya di atas.

Pertama, Prabowo menyatakan bahwa ia adalah ketua umum partai yang demokratis, selalu berkonsultasi sebelum mengambil langkah strategis. Untuk itu ia meminta para kader mempercayainya. Alasan kedua, Prabowo bersaksi (mempercayai tanpa ragu) bahwa Jokowi adalah presiden yang… dan seterusnya. Maka kader pun harus mempercayai Jokowi.

Problematiknya adalah bahwa (1) di dalam organisasi, konsultasi itu mestilah deliberatif, dilakukan dalam rapat resmi dengan keputusan resmi yang terdokumentasi dengan baik. Sepengetahuan saya rapat dan keputusan resmi itu tidak ada. Prabowo nampaknya melakukan konsultasi, tetapi bersifat pribadi. Untuk demokrasi, hal itu tidak memadai.

Problematik kedua, mempercayai seseorang karena kesaksian orang lain hanya setengah benar. Dalam demokrasi kepercayaan diberikan tanpa mengabaikan kemungkinan adanya pelanggaran terhadap kepercayaan itu sendiri. Kepercayaan harus bisa diverifikasi.

Oleh karena itu, dari taklimatnya kita bisa menyimpulkan bahwa kepercayaan bagi Prabowo bermakna kepercayaan buta atau blind trust. Kepercayaan  semacam itu menuntut kesetiaan, ketaatan dan penerimaan tanpa pertanyaan dari pemberi kepercayaan kepada penerima kepercayaan.

Blind trust adalah jenis kepercayaan yang tanpa syarat dan tanpa keraguan. Kepercayaan ini mengabaikan kecerdasan, mencerminkan kepribadian yang lemah dan mempromosikan nilai-nilai yang tidak tegas (Vamik D. Volkan, 2004).

 

Kepercayaan Otentik

Demokrasi membutuhkan kepercayaan dari jenis yang lain, disebut kepercayaan otentik (authentic trust). Kepercayaan itu haruslah bersyarat, fokus, dengan kualifikasi, dan terbatas. Sebagai contoh, kepercayaan kepada anggota DPR hanya berlaku setelah yang bersangkutan memenangkan pemilu (bersyarat), berkenaan dengan tugas sebagai legislator (fokus), berorientasi kepada kinerja (qualified) dan dipilih kembali setelah 5 tahun (limited).

Dengan demikian menjadi wakil rakyat tidak lantas bebas memperoleh kehormatan, fasilitas dan melakukan segala macam.