Oleh Achmad Nur Hidayat MPP*
Alumnus Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapore
dan Tsinghua University, Beijing China
Kekhalifahan Utsmani (Ottoman Empire) pada tahun 1683 memiliki wilayah yang membentang masuk ke daratan Eropa, Afrika dan Asia, pada zamannya adalah kekaisaran terbesar dan terlama yang pernah ada dalam sejarah bumi modern. Kekhalifahan ini berdiri selama 625 tahun, sejak berdiri 1299 dan dijatuhkan pada 1923. Sumber kehancurannya terletak pada aspek produktivitas ekonomi bukan pada aspek persenjataan dan ketentaraan.
Sejak penguasa pertama Utsmani pada tahun 1299 yang dikenal dengan Utsman I yang hanya menguasai daratan Anatolia yang berbatasan dengan kekaisaran Bizantium Romawi, Kekhalifahan ini bertambah besar dan ditakuti baik oleh barat maupun timur.
Khalifah legendaris adalah Muhammad Al-Fatih (Mehmed II) yang menaklukan Bizantium dengan sebuah persenjataan yang belum pernah dikenal saat itu. yaitu Meriam. Meriam diciptakan atas desain seorang insyiur bernama Urban dari Hongaria. Meriam tersebut memiliki panjang 27 kaki dengan diameter begitu besar sehinga seorang pria bisa masuk kedalamnya.
Sejarahwan mengatakan bukan karena dampak kerusakan dari meriam tersebut yang mampu menghancurkan benteng konstantin tetapi karena suara dari ledakan itu yang menggentarkan pasukan romawi timur ini yang akhirnya melarikan diri ke Rusia dan membentuk dinasti baru dengan nama Czar.
Kekhalifahan Utsmani bertambah luas dan perekonomiannya tak tertandingi pada saat zaman ke-emasan yang dipimpin oleh khalifah Sulaiman (Suleiman The Magnificient). Akan tetapi penggantinya merupakan penguasa yang tidak kompeten dan lalai dalam hal-hal penting dibidang perekonomian.
Sebagaimana dalam Buku Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes by Tamim Ansary, Published in the United State (2009) kita mengetahui bahwa dalam kekaisaran Utsmani terdapat serikat (assosiasi) perdagangan yang biasanya terkait dengan tarekat-tarekat sufi. Mereka mengendalikan semua manufaktur dan mereka melindungi anggota serikat dengan cara mengunci kompetisi. (Tamim; 362)
Biasa saja serikat-serikat ini mirip dengan kamar-kamar dagang yang ada didunia saat ini, mereka melindungi anggotanya dari kedatangan kompetitor baru yang lebih kuat.
Satu serikat ini memiliki monopoli atas produksi sabun, sementara serikat yang lain memiliki monopoli atas pembuatan sepatu akan tetapi serikat tidak bisa memanfaatkan posisi monopoli mereka untuk mendongkrak harga, karena negara menetapkan batas tentang berapa besar biaya yang bisa mereka berikan. (Kekhalifaan Utsmani dan wazirnya memiliki kewenangan mengatur harga yang wajar, ini mirip dengan sistem ekonomi terkontrol). Negara melindungi masyarakat dan serikat melindungi anggota mereka, segala sesuatunya seimbang mencapai equilibrium, semuanya berjalan.
Kemudian, orang barat yang dimotori oleh orang-orang venesia dan Italia masuk ke sistem itu. Mereka membuka hubungan diplomatik dan mendirikan kantor perwakilannya di Istanbul. Perdamaian terjadi saat itu. Mereka dikenal di Utsmani sebagai orang Dzimmi (orang kafir yang dalam perdamaian).
Orang-orang barat tidak bersaing dengan serikat dalam berusaha menjual sabun atau sepatu- negara tidak akan membolehkannya.
Mereka datang mencari barang untuk dibeli, terutama bahan baku seperti wol, daging, kulit, kayu, minyak, logam dan sejenisnya-apapun yang dapat mereka peroleh. Pemasok senang menjual kepada mereka dan bahkan negara tersenyum melihat perdagangan ini, karena hal itu membawa emas masuk kedalam kekhalifahan Utsmani.
Sayangnya, orang-orang Eropa Dzimmi itu mengejar bahan baku yang sama dengan yang diperlukan oleh serikat untuk menghasilkan produk mereka. Dan orang Eropa bisa membeli lebih banyak daripada serikat karena mereka memiliki emas-dari Benua baru yang mereka temukan yaitu Amerika-dalam kantong-kantong mereka, sementara serikat pekerja hanya mempunyai laba mereka yang dibatasi oleh kontrol harga pemerintah.
Mereka tidak bisa mengimbangi perbedaan itu dengan volume-dengan memproduksi dan menjual lebih banyak barang- karena mereka tidak bisa mendapatkan cukup bahan baku untuk meningkatkan produksi.
Dengan hadirnya orang asing yang mengisap habis wilayah-wilayah Utsmani dan mengirimkannya ke Eropa, para pengrajin di dunia Utsmani mulai merasakan dampak negatifmya, produksi dalam negeri perlahan-lahan anjlok.
Para pejabat Utsmani melihat masalah ini dan mengatasinya dengan melarang ekspor bahan baku strategis yang dibutuhkan industri dalam negeri. Tapi hukum jenis ini hanya membuka peluang black market (penyeludupan).
Birokrat Pemakan Suap (rent seeking behavior)
Ketika mengekspor wol dianggap kriminal, hanya penjahat saja yang akan mengekspor wol. ekonomi pasar gelap mulai berkembang sampai akhirnya terbentuklah kelas orang kaya baru dari perdagangan gelap. Mereka melakukan penyuapan kepada berbagai pejabat untuk melancarkan operasi mereka. Pada akhirnya peristiwa korupsi ini begitu marak sehingga para pejabat sekarang berubah menjadi orang kaya baru dari "pengusaha" yang lain.
Jadi, sekarang banyak orang yang memiliki uang ilegal yang tidak dihasilkan dari peningkatan produktivitas apapun. Itu adalah cash (uang tunai) yang dialirkan masuk ke kas ekonomi Utsmani oleh orang Eropa yang bebas berbelanja menggunakan emas dari Amerika.
Tapi kemana orang kaya baru warga Utsmani itu menghabiskan uangnya? Investasi di industri hilir tidak mungkin karena hal itu akan menarik perhatian tak diinginkan dari negara. Jadi mereka membelanjakannya untuk barang-barang mewah.
Di zaman Utsmani, ini mencakup barang-barang konsumen dari Eropa yang dapat diperoleh dengan uang tunai yang dibayarkan dibawah meja.
Tren yang menggerogoti kemampuan Utsmani untuk memproduksi barang-barang itu sendiri membuka pasar bagi industri Eropa dan akhirnya menguras emas kembali ke Eropa.
Uang tunai dari luar yang masuk ke sistem Utsmani ketika produksi mulai melorot kemudian menimbulkan inflasi: itulah yang terjadi bila jumlah uang lebih banyak daripada barang yang dapat dibeli.
Siapa yang dirugikan oleh inflasi? orang-orang yang berpendapatan tetap. di zaman Utsmani mereka yang berpendapatan tetap adalah birokrat yang digaji pemerintah dan lebih khususnya pejabat istana yang digaji—kelas atas yang membengkak namun sepenuhnya tidak produktif–.
Orang-orang kelas atas ini tidak menyukai inflasi. Inflasi membuat pejabat istana kaya yang hidup dengan gaji tetap harus mengencangkan ikat pinggang mereka dan mereka tidak dapat bersabar.
Mereka mulai menambah pendapatan dengan memegang satu-satunya instrumen yang mereka kuasai. apa yang dikontrol oleh para pejabat dan birokrat istana Utsmani? Akses kepada urusan administratif dan hukum negara.
Ketika orang tidak memiliki peran, kecuali untuk menyediakan akses, mereka tidak memiliki kekuatan kecuali dengan menghalangi akses. Pejabat istana dan birokrasi di Kerajaan Utsmani mulai untuk mencegah bukannya memfasilitasi– kecuali mereka diberi suap.
Kekaisaran Utsmani menjadi labirin dokumen-dokumen. Untuk menembus kedalamnya, seseorang perlu menyokong dengan orang-orang yang kenal dengan orang-orang yang bisa menyuap orang-orang yang bisa menyuap orang lain yang mengenal orang-orang penting. demikian seterusnya.
Untuk memerangi sumbatan ini, negara menaikkan gaji sehingga para pejabat dan birokrat istana tidak akan merasa perlu menerima suap.
Tetapi negara tidak punya sumber dana tambahan yang berdasarkan pada produktivitas riil, terutama dinasti Utsmani tidak lagi memperluas wilayahnya, tidak memiliki pendapatan yang biasanya mengalir kedalam pundi-pindi dari penaklukan. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan gaji, pensiun dan upah tentara kerajaan Utsmani harus mencetak uang. (Tamim; 365)
Mencetak uang mempertajam inflasi. semua yang dilakukan kekhilafahan Utsmani untuk menghentikan korupsi dan meningkatkan efisiensi hanya memperburuk masalah. Akhirnya, pejabat pemerintah menyerah dan memutuskan menyewa konsultan untuk datang dan membantu mereka mengatur segalanya.
Para penasehat yang mereka sewa adalah konsultan manajemen dan ahli teknis dari benua yang tampaknya tahu caranya: Eropa barat. Kebanyakan mereka adalah yahudi yang mampu berbicara arab.
Mungkin beberapa eksekutif brilian bisa melakukan sesuatu tentang kekacauan yang mengantarkan elite Utsmani ke dalam keadaaan negara yang menyedihkan ini akan tetapi kekuasaaan keluarga dan pejabat Utsmani telah menjadi begitu berat dan kurang produktif sampai menyerupai raksasa cacat yang dipikul dipunggung seluruh masyarakat.
Pelajaran Penting untuk Indonesia
Perekonomian Indonesia di era pemerintahan SBY II telah sangat identik dengan kondisi ekonomi Utsmani menjelang bubarnya kekhilafahan. Betapa tidak, pembangunan negara tidak didukung dengan produktivitas yang memadai. Biaya pembangunan publik didanai oleh dana pinjaman, mencetak uang dan pajak yang memberatkan. Universitas dibiayai dengan mutual fund world bank yang harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Infrastuktur dan Sistem transportasi yang harusnya diperbaiki untuk memacu produktifitas malah dibiarkan idle sebagai proyek mati hanya diatas kertas.
Angka koefisien TFP (Total Faktor Produksi) yang menggambarkan seberapa besar produktifitas sebuah negara Indonesia hanya sebesar 0.16 dibandingkan China yang mencapai angka 13.2 pada tahun 2009.
Beban ekonomi atas birokrasi menjadi berkali-kali lipat daripada orde baru. Lahirnya komisi-komisi seperti Kompolnas, Komnas Ham, UPK3R, Satgas Mafia Hukum, Dewan Energi, Dewan Pers, Komite Ekonomi Nasional, Komite Inovasi Nasional, Komisi Yudisial dan banyak lainnya menambah beban APBN yang tidak sedikit sementara produktifitas dan efisiensi birokrasi makin parah. Apa guna komisi tersebut selain menampung para pengangguran politik dan mantan pejabat.
Korupsi, suap, uang pelicin dengan segala pembenarannya merajalela pasca reformasi. debottlenecking dalam administrasi perizinan usaha semakin dipersulit dan berlarut-larut terutama setelah otonomi daerah.
Sementara itu, tidak sedikit konsultan asing yang disewa untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, dan yang terakhir seorang "asing" diundang dan dibayar mahal masuk dalam istana dalam presidential’s lecture untuk menyelesaikan persoalan mendasar bangsa seolah-olah dia tau banyak tentang masalah kita.
Kerusuhan dan perkelahian antar warga menjadi-jadi, perebutan kekuasaan melalui pilkada diakhiri dengan kerusakan kantor pemerintahan. Partai politik berjumlah 42 buah dianggap juga kurang aspiratif dan Akhirnya Indonesia pelan tapi pasti sedang menuju kehancurannya.
Tentu kita tidak menghendaki yang demikian, solusi yang terbaik adalah pemerintah melakukan apa yang kenal sebagai "politik ekonomi" yaitu menetapkan pembangunan yang mengarahkan pada produktifitas, mengefisiensikan birokrasi dan meredam ketegangan dengan memberikan keteladan oleh para pemimpinnya. Itulah pekerjaan rumah yang ada didepan kita.
Penulis adalah analis senior pada Institute of Banking and Financial Studies (IBAFIS).
Opini penulis mencerminkan pendapat pribadi dan bukan institusi.
—
HIDAYAT MPP