Di Indonesia, ada banyak Sukmawati-Sukmawati lain yang begitu bebas mengeluarkan kata-kata yang diduga sebagai penistaan dan hate speech. Meresahkan dan membuat gaduh masyarakat. Persoalan muncul ketika yang satu ditindak, yang lainnya dibiarkan. Yang ini dihukum, yang itu bebas. Yang di sini dikejar-kejar, yang di sana dilindungi. Ada ketidakadilan hukum yang sudah lama dirasakan oleh masyarakat.
Ketika Ahmad Dani mengeluarkan kata-kata ideot, ia divonis satu tahun penjara. Sementara vonis itu tak berlaku bagi beberapa orang yang lain. Inilah dugaan ketidakadilan itu muncul dan cukup meresahkan.
Ketika Sukmawati Soekarnoputri, dan juga beberapa orang lainnya “diduga” melakukan penistaan agama dan hate speech, lalu bebas dari proses hukum, bahkan mendapat dukungan dari sejumlah pihak, maka ini akan membuka peluang lahirnya Sukmawati-Sukmawati yang lain.
“Utamakan dialog”, “perlu dimaafkan”, “jangan salah paham”, Islam itu rahmatan lil alamin”, dan kata-kata sejenis memang nampak sejuk dan beradab. Sayangnya, kata-kata bijak ini tak berlaku untuk Ahmad Dani, Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Gus Nur, dan teman-temannya. Inilah yang barangkali membuat salah seorang kader PKS gemas. “Kritik presiden suruh ditangkap, kritik kepada Nabi suruh dimaafkan”.
Ini sebuah protes. Pertama, protes atas tindakan hukum yang terkesan tebang pilih. Kedua, protes atas sikap para tokoh yang tidak konsisten. Kepada orang yang satu mazhab politik mereka minta dimaafkan. Memang, kelihatannya begitu religius dan sangat beradab. Sementara kepada mereka yang tidak berada dalam kelompok politiknya supaya ditindak tegas dan diproses secara hukum. Sikap ini tak lebih dari bentuk kemunafikan sosial untuk menutupi atraksi dramaturgi tokoh-tokoh itu.
Karena sikap dan perlakuan timpang ini seringkali terjadi, akibatnya kepercayaan rakyat baik kepada aparat maupun penguasa semakin hari makin tipis. Harapan akan sebuah keadilan menjadi begitu sangat mahal. Inilah faktor dan sumber utama mengapa ada pihak-pihak yang pada akhirnya begitu kuat dan gigih membenci penguasa.