Menurut Agama bersujud pada selain Allah adalah musyrik. Menyekutukan Tuhan. Fir”aun mempertuhankan dirinya. Raja dan Kaisar dahulu suka dihormat dengan cara bersujud sebagai wujud kepatuhan dan kesiapan untuk mengabdi. Raja dahulu di Indonesia juga ada yang rakyatnya harus merendah. Di jaman Jepang pernah diharuskan rakyat bumi putera membungkuk menghormati. Para pejuang menolak meski berisiko ditangkap. Ada yang membungkuk tapi masih ada jiwa perlawanan diam diam dia kentut.
Bentuk perendahan diri di depan sesama manusia dalam agama dilarang. Begitu juga konteks peradaban hal itu dinilai sebagai jiwa budak yang tidak beradab.
Sujudnya Sulaeman, konon warga Kaltim, dihadapan Jokowi bagi publik sangat tidak lazim. Harus diselidiki karena bisa banyak kemungkinan. Apakah pengakuannya benar bahwa itu wujud kegembiraan bertemu Presiden. Biasanya kegembiraan bisa dengan cukup bukti berfoto bersama. Atau ia sedang berakting untuk tujuan yang bisa menguntungkan Jokowi atau bisa merugikan juga. Atau yang paling ekstrim sehatkah Sulaeman apakah ia satu diantara jutaan pemilih gila yang diberi hak KPU lalu memilih Jokowi ? Klarifikasi nampaknya penting agar masalah ini tidak jadi fitnah.
Memang sujud manusia kepada manusia itu dramatis. Jiwa penghambaan harus dicegah. Bangsa semakin rusak jika “sklaven geist” (jiwa budak) ditumbuhkan. Buat apa teriak teriak merdeka jika yang dibunuh adalah jiwa merdeka. Sementara yang dibangun adalah kultur “raja” dan “hamba”. Raja yang kuasa karena pengaruh paksaan, uang dan fasilitas. Hamba yang mengemis dan mengais ngais sisa dari kerakusan raja dan “cum suis”–kawan kawan.
Penulis: M. Rizal Fadillah, Bandung 7 Juni 2019 (*)