Ketiga, sikap pengembang dalam memenuhi aturan tentang pengelolaan lingkungan hidup jelas-jelas melecehkan otoritas. Mereka bangun pulau tanpa didahului kajian lingkungan yang memadai. Setelah diketahui publik baru belakangan disusulkan kajiannya, yang tentu saja menjadi kehilangan kredibilitasnya.
Keempat, siapapun akan tersentuh rasa keadilannya menyaksikan pulau-pulau itu dibangun dan dikelola bagaikan suatu koloni eksklusif. Bahkan setelah issue reklamasi ini menjadi sorotan publik, pihak pengembang masih “berani” menghalang-halangi wartawan yang ingin meliput wilayah reklamasi.
Seperti pernah saya kemukakan di sebuah acara di salah satu stasiun TV, publik bertanya: dimana keadilan kita? Kenapa rakyat kecil yang membangun kontrakan sebagai sumber kehidupan satu-satunya dibongkar paksa sebab IMB tidak lengkap, sementara deretan ratusan ruko megah tanpa ijin dibiarkan? Bahkan terkesan dilindungi?
Yang lebih merisaukan kita sebenarnya adalah kalau kita pertanyakan: seandainya pada bulan Maret 2016 KPK tidak menangkap tangan anggota DPRD DKI Jakarta dan Petinggi Perusahaan pengembang, apa yang akan terjadi dengan reklamasi ini? Boleh jadi segala kejanggalan dan tingkah ugal-ugalan ini tak pernah diketahui publik.
Boleh jadi, kajian awal dan rancangan awal program reklamasi ini memang memberi manfaat bagi masyarakat dan wilayah DKI Jakarta. Tetapi, sejumlah kejanggalan di atas dan sejumlah cerita di baliknya yang telah diberitakan luas oleh media massa, telah memberi bukti bahwa pelaksanaan reklamasi telah melenceng terlalu jauh dari semangat dan desain awal. Ada sejumlah aturan pada level Gubernur yang memunculkan istilah dan konsep baru yang tiba-tiba muncul tanpa rujukan yang kuat dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.