Sudan kembali menjadi topik sentral ulasan media massa. Pasalnya sejarah baru dunia yang belum pernah ada, kini terjadi di Sudan. Di mana seorang presiden yang masih aktif menjabat diseret ke pengadilan internasional. Umar Al-Basyir, Presiden Sudan Rabu (4/3) lalu dinyatakan bersalah oleh International Criminal Court (ICC), dengan tuduhan melanggar HAM dan pembantaian manusia secara tidak langsung di Darfur. Sebelum keputusan ini disahkan, seorang jaksa penuntut di ICC, Luis Moreno Ocampo pada pertengahan tahun 2008 lalu melempar wacana ini ke publik.
Reaksi yang muncul ketika itu kemarahan hebat dari internal Sudan dan negara-negara Arab-Islam lainnya. Tidak heran ketika wacana ini resmi menjadi keputusan ICC, reaksi protes dan kemarahan menyeruak dari Sudan yang sangat loyal kepada Al-Basyir. Lembaga-lembaga resmi seperti Liga Arab, Uni Afrika, dan intansi Arab lain pun turut menentukan sikap, meminta ICC untuk mengkaji ulang keputusan tersebut.
Namun Sudan sudah sangat akrab dengan ancaman yang dialamatkan kepadanya. Lebih dari 50 resolusi internasional yang dikeluarkan PBB tidak membuat Sudan bergeming. Salah satu poin keputusan ICC adalah melarang Al-Basyir melakukan lawatan ke luar negeri, dan jika melanggar akan ditangkap. Meskipun mendapat ancaman ini, Al-Basyir tetap melakukan safari politik ke negara tetangga. Ia juga akan memenuhi undangan KTT Arab di Qatar tanggal 30 Maret nanti, konferensi Arab dan Afrika juga akan dihadirinya, demikian yang dinyatakan oleh Menlu Sudan, Ali Ahmad Karti. Bahkan Karti menegaskan, Sudan tidak akan menghiraukan keputusan ICC karena Sudan bukan termasuk anggota ICC (El-Osboa, edisi 621, 6 Maret 2009).
Keputusan Politis
Para pengamat menilai bahwa keputusan ICC merupakan keputusan yang sifatnya politis, bukan yuridis. Menurut Dr. Rif’at Said Ahmad (pengamat politik), ada kepentingan besar yang ingin dicapai AS dan Israel dari Sudan. Hal yang sama juga dikatakan oleh Dr. Zaki Al-Buhairy (Guru Besar Sejarah di Univ. Mansourah), bahwa yang menjadi target bukan sekedar Umar Al-Basyir tapi Sudan secara keseluruhan, sebagaimana dulu strategi AS sebelum menginvasi Iraq dimulai dari penggulingan Saddam Hussein.
Hani Roslan (pengamat politik di Pusat Studi Strategi dan Politik Al-Ahram) menjelaskan, bahwa keputusan ICC sengaja dikeluarkan di saat pemerintahan transisi, di mana Sudan Selatan tengah melakukan referendum untuk memerdekakan diri dari pemerintah tahun 2011 nanti. Keputusan ICC ini telah menyiramkan minyak di atas api, kekacauan internal Sudan bergolak. Dan inilah yang diinginkan AS untuk memecah belah kekuatan Sudan.
Meskipun AS dan Israel secara geografis sangat jauh dari Sudan, tapi campur tangan mereka di Darfur sudah kian lama beroperasi. AS-Israel dan Barat-Eropa sudah membaca bahwa masa depan perekonomian Sudan sangat potensial untuk maju. Selain itu kekayaan bumi, minyak, uranium, bijih besi, kuningan, dan tanah yang subur sangat memungkinkan Sudan menjadi negara kuat. Dan satu hal yang paling ditakuti Barat dan Eropa adalah penerapan syariat Islam di negara terbesar Afrika ini. Jika kekayaan itu mampu dikelolah dengan baik dan dikuasai penuh oleh umat Islam, secara otomatis akan membentuk kekuatan besar dan mengancam kepentingan mereka di Sudan.
Menteri Keamanan Dalam Negeri Israel, Avi Dichter menjelaskan alasan Israel memainkan perannya di Sudan. Menurutnya, Sudan dengan kekayaan alamnya yang melimpah, tanahnya yang luas, dan jumlah penduduknya yang besar sangat mungkin menjadi negara yang kuat. Sudan merupakan tempat yang strategis bagi Mesir. Pasca perang Arab-Israel 1967, Sudan menjadi kiblat Mesir di bidang persenjataan udara dan darat.
Untuk itu Israel harus melumpuhkan Sudan dan menggerogoti kekuatannya sebelum menjadi negara kuat. Golda Meir, Perdana Menteri Israel ke-4 (1969-1974) juga pernah berkata, “Melemahkan negara-negara Arab sentral dan menggerogoti kekuatannya adalah keharusan, demi melipatgandakan kekuatan kita dan meningkatkan daya tahan kekebalan kita menghadapi musuh. Untuk itu kita harus menggunakan segala cara, kadang kala menggunakan kekerasan, diplomasi, atau dengan cara perang terselubung.” (Pusat Studi Strategi dan Politik “Al-Ahram”).
Proyek Lama Wajah Baru
Keinginan untuk menguasai seluruh kawasan Afrika yang dimulai dari Sudan telah direncanakan sejak lama. Seluruh PM Israel, mulai dari David Ben Gourion, Levi Eshkol, Golda Meir, Ishak Rabin, Menachem Begin, Ariel Sharon, dan Ehud Olmert, semuanya menerapkan strategi yang sama. Memulai dari Sudan dengan fokus penciptaan ledakan krisis yang berkepanjangan di Sudan Selatan, kemudian disusul dengan perpecahan di Darfur. Akumulasi permasalahan yang sengaja diciptakan ini kemudian menjadi bom waktu yang siap diledakkan kapan saja, tergantung kepada pemegang remote control. Kasus ICC hanyalah satu bom rakitan yang diledakkan untuk membuka jalan operasi selanjutnya.
Skenario yang diterapkan untuk melumpuhkan Sudan dalam tataran praktisnya terjadi pasang surut. Beragam konferensi digelar untuk merancang kembali teknis penguasaan Sudan. Konferensi “South Florida University” yang diselenggarakan pada tanggal 14 Desember 2002 silam, membincangkan narasi besar bertemakan ‘Masa Depan Federalisasi Tanduk Afrika’. Konferensi ini terselenggara atas kerjasama universitas-universitas besar, seperti: Harvard, Henderson, Howard, John Hopkins, Michigan, Princeton, Misoori, dan beberapa instansi perbankan. Di antara tokoh besar yang hadir dalam konferensi itu adalah sekjend PBB Koffi Annan, Menlu Amerika Serikat (AS) Collin Powell, dan Kenneth Kwanda yang menjabat sebagai Presiden Zambia ketika itu.
Agenda ini menindaklanjuti gagasan yang dilontarkan pertama kali oleh para pejabat luar negeri AS untuk urusan Afrika (1995). Mereka menyebut gagasan itu dengan proyek besar bernama “Tanduk Afrika Raya”. Proyek ini merupakan mata rantai dari agenda sebelumnya, “Timur Tengah Raya” yang menciptakan petaka di dunia Islam, diantaranya membangun kuburan masal di Palestina, memporakporandakan Afghanistan, mencabik-cabik Iraq, membuat ketegangan di Lebanon, dan mengancam ketentraman Iran. Sesuai dengan peta perencanaan, kedua proyek ini (Timur Tengah Raya dan Tanduk Afrika Raya) disatukan dengan Laut Merah. Adapun negara-negara yang menjadi target proyek Tanduk Afrika Raya adalah: Sudan, Eritrea, Ethiopia, Somalia, dan Jibouti.
Sudan yang terletak di Tanduk Afrika dan berbatasan dengan Laut Merah, akan dijadikan pangkalan pertama yang mengikat kedua proyek besar tersebut. Keputusan ini dikuatkan dengan rekomendasi dari Pusat Studi Strategi Internasional di Washington, Januari 2004. Rekomendasi itu ditujukan kepada Kongres AS agar membentuk dewan penasehat khusus urusan Benua Afrika. Selain itu, pusat studi itu juga merekomendasikan untuk menjadikan Sudan sebagai langkah awal politik baru AS di Benua Afrika. Dengan kata lain, sebelum melumpuhkan negara-negara kuat di kawasan Afrika, Sudan harus ditundukkan terlebih dahulu dengan menggunakan politik belah bambu.
Meskipun Sudan menjadi prioritas, tidak berarti rencana lain terhadap negara-negara yang menjadi target penguasaan mandeg. Somalia meskipun sudah berhasil memunculkan presiden Baru, bayang-bayang Yahudi Ethiopia masih kerap menghantui. Proyek-proyek AS-Israel tidak mengenal kata akhir sebelum benar-benar terealisasi. Tapi mimpi itu tidak akan terwujud selama kesadaran, kepedulian, dan kesatuan emosional umat Islam tetap kokoh dan bersinergi. Wallâhu A’lam bish Shawâb.
Penulis:
Ahmad Musyafa’, Lc., Mahasiswa pascasarjana di Universitas Al-Azhar Kairo Jurusan Dakwah dan Wawasan Ke-Islam-an. Direktur Studi Informasi Alam Islami (SINAI) masa juang 2008-2010. Email: [email protected]