Lalu bagaimana dengan Cawapres Prabowo? Ketika Prabowo diluar ekpektasi sebagian besar pendukungnya memilih Sandiaga Salahuddin Uno (SSU) yang masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI sebagai Cawapres, publik bukan hanya kaget dan terperangah, tetapi sudah menjadi “rasa gado-gado”. Ada rasa marah, kecewa, kesel, pesimis, galau, menjadi satu dalam pendukung Prabowo. Namun rasa gado-gado itu tidak berlangsung lama, karena kepiawaian Prabowo menjelaskan bahwa memilih tokoh muda energik SSU dan tidak memilih tokoh ulama, bukan berarti tidak menghargai dan patuh pada Ijtima ulama, tetapi kerena tidak mau umat pecah akibat adanya benturan pendukung antardua Cawapres ulama.
Sekarang publik sedikit demi sedikit mulai memahami dan menerima kehadiran SSU sebagai Cawapres Prabowo dengan beberapa alasan. Pertama, SSU relatif dapat diterima oleh partai pendukung utama Prabowo. Kedua, SSU adalah refresentasi dari tokoh muda Islam yang dapat diterima oleh hampir seluruh petinggi organisasi Islam di negeri ini. Ketiga, SSU dapat merebut hati pemilih digital (pemilih yang mencari referensi pemimpin di media sosial) yang diperkirakan mencapai 50% lebih pada Pemilu 2019. Keempat, SSU secara psikologis dipastikan dapat menarik hati emma-emma karena muda, dinamis, familiar dan ganteng.
Dengan memperhatikan kelebihan kedua Cawapres ini, kita bisa meraba-raba siapa Capres yang lebih berpeluang memenangkan kontestasi Pilpres 2019.