Sebagai seorang intelek, Sri dianggap sudah tidak tahu malu meski bertubi-tubi dikritik atas kegagalan sejumlah kebijakannya. Sampai-sampai Profesor Anwar Nasution menyebut Sri sebagai ‘Menteri Batok Kelapa’, karena ‘piawai’ dalam urusan mengutang ke pihak asing.
Di zaman Malaise, batok kelapa merupakan atribut tukang minta-minta. Yaitu orang yang lebih suka mengemis karena kemalasan dan tiadanya kehendak menggunakan akal pikiran secara mandiri.
Ada pun Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut Sri Mulyani sebagai ‘Sales Promotion Girl IMF & Bank Dunia’. Istilah lain untuknya: High Cost Borrowing Operator, karena untungkan investor surat utang dan selalu kasih bunga utang tinggi kepada para kreditor. Untuk ini Sri mendapatkan pujian dari asing dan aseng.
Sedangkan kepada rakyat kecil Sri Mulyani pungut pajak yang menginjak ala kolonial. Mulai dari pajak pecel lele, pajak lipstik, pajak tasbih, dan pajak produk-produk kecil lainnya.
Van Den Bosch juga ekonom kolonial. Datang ke sini karena Belanda tekor akibat Perang Jawa (1825-1830) dan dibebani utang yang menumpuk.
Rakyat pribumi dipaksa tanam komoditi pangan ekspor. Gula, kopi, teh, dan sebagainya. Petani dipungut pajak, sehingga makin melarat. Tidak ubahnya hari ini.
Van Den Bosch dipuji Ratu. Sementara para bupati komparador pendukung tanam paksa dikasih hadiah dan naik pangkat. Saking girang dan biasa menjilat mereka menyebut Gubernur Jenderal Van Den Bosch dengan sebutan Eyang Romo.
Sri Mulyani juga senang dipuji asing. Padahal rakyat tidak pernah tahu apa prestasi dan keberpihakannya. Apa pengaruhnya terhadap kesejahteraan mayoritas rakyat, dan peningkatan ekonomi nasional selama sekian tahun dia hilir-mudik di kabinet.
Menteri Keuangan dengan ciri ekonom kolonial kalau terus diawetkan bakal mempercepat kebangkrutan Indonesia. Kebijakannya sampai kiamat akan terus meniru Van Den Bosch atau Romusha, yang dalam versi sekarang IMF & World Bank.
Negeri dan bangsa ini butuh tokoh kognitariat (pekerja otak) dengan ciri kemampuan problem solver, patriot, dan berani membela kepentingan mayoritas rakyat. Sebab soal-soal ekonomi ini masalah fatal yang segera menyeret ke dalam kehancuran.
Perekonomian nasional yang makin rusak tak bisa diselesaikan dengan mindset kolonial, IMF & Bank Dunia, sehingga diperlukan terobosan.
Apalagi berlangsung di antara konflik geoekonomi global, di mana mulut sang naga merah siap mencaplok di belakang kita. [end]
Arief Gunawan, Wartawan Senior.
[rmol]