“Kamu tahu, aku bangun ini untuk rakyatku juga, kenapa kamu rusak kotaku? Kenapa kamu gak rusak kotamu sendiri,” ucap Risma dengan nada tinggi.
Sikap siapakah yang benar? Anies atau Risma?
Jika kita menyadari bahwa rakyat memiliki kedaulatan atas negara ini, tentulah kita harus bersikap hati-hati, tepat, dan bijak. Siapakah para pengunjuk rasa itu? Mereka adalah rakyat yang kecewa, rakyat yang marah, rakyat yang terpinggirkan, dan rakyat yang termiskinkan. Rakyat yang sedang menggugat hak-hak kedaulatannya. Yang ingin diperlakukan sebagai manusia di atas tanah-air-nya sendiri.
Ketika mereka merasa ada hak yang terampas, ketika mereka merasa ada ketidakadilan, ketika mereka merasa tak lagi dapat mudah mencari lapangan kerja, tentu mereka bersuara.
Mereka tentu tidak ingin merusak. Tokh aset-aset itu milik rakyat juga. Milik mereka juga. Modal untuk berproduksi.
Namun tatkala mereka tak tahu harus makan apa untuk esok hari, tak tahu harus bagaimana membayar biaya sekolah anak-anaknya, emosi yang membakar di tengah terik matahari dan lelahnya senja menggelapkan semua akal sehat mereka.
Kalian tidak pernah merasakan rintihan mereka tiap malam. Membayangkan esok yang kelam. Melihat si kecil kelaparan. Melihat si upik sakit-sakitan. Melihat si buyung harus sekolah.
Sementara saat mereka berdemonstrasi, kalian pun masih mencaci mereka di dalam kabin mobil berpenyejuk udara. Esok kalian tak akan kelaparan karena minimal mobil itu masih dapat kalian jual.
Di sinilah bedanya Anies dan Risma. Anies memilik empati, Risma tidak.
Anies tahu bahwa aset-aset yang rusak dan terbakar ini adalah harga yang harus dibayar karena kita telah lalai pada rakyat miskin. Orang-orang yang tertindas. Mereka pun pemilik negeri ini.
Di pihak lain, Risma menempatkan dirinya sebagai penguasa. Sang paduka ratu. Rakyat hanya melulu sebagai abdi dan pemimpinlah yang selalu benar. Rakyat tidak boleh marah. Pemimpin boleh memaki. Bahkan mengagitasi untuk merusak kota yang lain. Jangan di kota saya. Amboi. Sebuah sikap kepemimpinan yang tak pantas di abad 21 sekarang ini.
Di era industri 4.0 di mana telah terjadi penggabungan teknologi digital dan industri konvensional secara masif, tentu empati pemimpin pada tenaga-tenaga buruh dan orang-orang yang tidak beruntung sangat diperlukan. Anies secara gamblang telah menunjukkannya pada kita.
Maka apabila masih ada ilmuwan yang bingung pada sikap Anies, pertanda belajarnya masih di level rapalan-rapalan. Masih mudah terhipnotis oleh kuasa elite. Semoga kita tidak.[end]
(Penulis: Soeyanto Soe, Pemerhati Ruang Publik)