Mahasiswa, pelajar, buruh, kaum miskin kota, dan sebagainya adalah elemen-elemen masyarakat yang tidak tipikal. Tidak semua bisa dan mau turun ke jalan seperti yang dilakukan Eva, seorang buruh, yang sekedar berjalan kaki hanya untuk menyerahkan bendera merah-putih ke marinir yang berjaga.
Rata-rata, elemen-elemen yang berdemonstrasi itu ingin bergerombol. Ingin membentuk identitas baru. Identitas perlawanan yang berani. Kalau perlu menghadirkan jumlah yang besar karena mereka tahu yang mereka lawan adalah pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.
Gerombolan demonstran ini juga tahu bahwa aparat dituntut harus bersikap sabar. Ketika aparat tidak goyah, muncul sikap yang lebih ekstrem. Mereka mulai merusak dan membakar. Ini tentu sangat disayangkan.
Akibatnya banyak fasilitas umum yang dirusak, termasuk aset-aset pihak swasta yang sial karena kebetulan ada di lokasi aksi. Sungguh kerugian yang tidak sedikit. Siapa yang marah? Siapa yang jengkel? Tentu kita semua kecewa.
Di level kepemimpinan pejabat pemerintah, menyikapi fenomena ini dapat kita perbandingkan tindakan yang dilakukan oleh Anies Baswedan (Anies) dan Tri Rismaharini (Risma). Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Risma sebagai Walikota Surabaya. Terlepas dari latar belakang dan pilihan politik, mereka merespon secara berbeda atas kerusakan yang terjadi akibat unjuk rasa kemarin.
Anies, disindir oleh Yunarto Wijaya, Direktur Lembaga Survei Charta Politika. Yunarto bingung mengapa Anies tidak marah atas aset-aset yang dirusak dan dibakar oleh massa. Suatu sikap yang kerap ditunjukkan Anies dalam beberapa tahun belakangan semenjak dia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sementara Risma malah memarahi demonstran.