Pada pertempuran ini, pasukan Muawiyah menyerah sehingga pasukan Ali bisa disebut mengalami kemenangan. Pada saat itu, selaku panglima pasukan Muawiyah, Amr bin Ash mengangkat al-Qur’an diujung tombak sebagai tanda menyerah.
Mengetahui Amr bin Ash menyerah, pasukan Ali yang berada di depan (belakangan disebut Khawarij), meminta Ali untuk menghentikan pertempuran. Namun sebaliknya, Ali tetap memerintahkan pasukannya untuk terus berperang. “Saya kenal Amr bin Ash sejak kecil. Amr bin Ash itu licik”.
Untuk diketahui, sebelum masuk Islam, Amr bin Ash adalah pemimpin pasukan kafir Quraisy yang mengejar 13 sahabat, salah satunya Ali, yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) yang rajanya Nasrani bernama Najasi, yang dikenal adil. Karena desakan untuk menghentikan perang dari pasukan di garis depan, akhirnya Ali pun menghentikan pertempuran.
Apa yang diperkirakan Ali benar terjadi. Menyerahnya Amr bin Ash ternyata hanya siasat licik untuk mengajak Ali duduk di meja perundingan. Bayangkan, sudah kalah masih pula mengajak berunding. Ali pun terpaksa memasuki meja perundingan. Kubu Muawiyah tetap mempercayakan Amr bin Ash sebagai juru runding, sementara Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari. Hasil perundingan memutuskan untuk memakzulkan Muawiyah dan Ali.
Ketika menyampaikan hasil perundingan, pihak Abu Musa diberi kesempatan pertama. Sebagai ulama yang zuhud, qanaah, dan wara’, Abu Musa menyampaikan hasil perundingan apa adanya, sesuai hasil perundingan. Namun ketika tiba giliran Amr bin Ash, justru mereduksi secara luar biasa, yaitu dengan mengatakan bahwa tadi Abu Musa sudah menyampaikan bahwa Ali dimakzulkan, berarti sekarang tinggal seorang khalifah bernama Muawiyah.