“HRS itu bukan teroris, (bukan pula) pengedar narkoba, atau tersangka yang harus dibuntuti kegiatannya. Hak azasinya sebagai warganegara untuk bisa pergi ke mana saja dalam wilayah Indonesia, sudah dirampas polisi,” katanya.
Pelanggaran HAM kedua, polisi telah melakukan teror psikologis ke HRS dan keluarganya. Pelanggaran ketiga, enam orang warga sipil yang tidak bersenjata, bukan teroris, pengedar narkoba atau tersangka, dibunuh tanpa suatu proses pengadilan.
Pelanggaran keempat, otopsi yang dilakukan polisi terhadap keenam jenazah pengawal HRS tersebut tanpa persetujuan keluarga. Pelanggaran kelima, ada tanda-tanda penganiayaan di keenam jenazah yang setiap jenazah terdapat lebih dari satu peluru dan mengarah ke jantung.
Ini merupakan pelanggaran HAM berat. Sebab, wewenang tertinggi polisi dalam menghadapi seorang penjahat adalah melumpuhkan, yakni menembak bagian kaki. Fakta ini menunjukkan bahwa polisi sudah merencanakan pembunuhan terhadap HRS dan pengawalnya.
Abdullah Hehamahua mengutip peneliti KONTRAS Danu Pratama yang mengatakan, aksi kekerasan sepanjang 2019 mayoritas dilakukan aparat kepolisian. Jumlah aksi kekerasan tersebut mencapai 103 kasus.
Mayoritas adalah kasus penganiayaan dan bentrokan, sebanyak 57 kasus. Peristiwa tersebut membuat 102 orang luka-luka dan dua orang meninggal.
Kemudian 33 kasus penyiksaan dengan 32 orang luka dan 9 orang meninggal, 5 kasus salah tembak dengan tiga orang luka dan lima orang meninggal, serta delapan kasus intimidasi.
Kesimpulan Abdullah Hehamahua: 1. Aksi penembakan dan penganiayaan terhadap enam pengawal HRS adalah tindakan pelanggaran HAM berat;
- Presiden harus segera mengambil tindakan tegas pada Kapolri dan Kapolda sebagaimana yang dilakukan terhadap Kapolda Jabar dan Metro Jaya dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pendukung HRS;
- Komnas HAM, bersamaan dengan hari HAM Internasional (10 Desember 2020) segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen, baik atas instruksi presiden maupun inisiatif sendiri, sehingga kasus pembunuhan enam pengawal HRS harus diadili oleh Pengadilam HAM, bukan pengadilan biasa.
Komnas HAM dan LPSK harus menjaga mereka, melindungi mereka dan menolak semua permintaan PMJ atau institusi Kepolisian lainnya hingga kasus pembunuhan 6 laskar FPI ini selesai.
Semua kasus non-crimimal terhadap HRS dan anggota FPI lainnya harus dibekukan. Kalau Pemerintah dan Polri tidak mampu menegakkan Keadilan, chaos dan conflict secara vertikal dan horizontal sudah ada di depan mata.
When injustice becomes law, protest becomes a duty! Ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka unjuk rasa menjadi sebuah kewajiban (wajib dilakukan). Penembakan 6 pengawal HRS bukan tidak mungkin itu terencana dan terprogram dengan izin institusi Polri.
Jadi, jangan cuci tangan dengan hanya korbankan bawahan dikirim ke Provpam, tapi seluruh pejabat Polri dari Kapolri dan Kapolda Metro Jaya sampai eksekutor lapangan harus diseret ke Pengadilan HAM.
Awalnya, HRS dibidik dengan perkara pelanggaran prokes berdasarkan pasal 93 Jo 9 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Meski sudah ada pasal 216 KUHP tentang melawan petugas/pajabat, namun konteksnya tetap dalam koridor penegakan protokol pandemi.
Tapi, pada saat pemanggilan HRS dan sejumlah pihak dari FPI, tiba-tiba dalam penyidikan itu muncul pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Pasal ini tidak ada dalam proses penyelidikan, dan tak ada kaitannya dengan prokes.
Setelah dipanggil tidak hadir karena ada udzur, HRS dan sejumlah pihak dari FPI secara ajaib menyandang gelar Tersangka berdasarkan pasal 216 dan 160 KUHP yang pada kenyataannya telah diikuti dengan penangkapan dan penahanan.
Pasal ini adalah pasal kunci, agar bisa menahan HRS. Sebab, jika penetapan Tersangka hanya berdasarkan pasal 93 Jo 9 UU No 6/2018, dan pasal 216 KUHP, polisi tak bisa menahan HRS karena ancaman pidananya di bawah 5 tahun.