Soal Aqidah pada ‘Corona’ (Bag.2, Habis)

Virus corona membuka mata kita. Ration scripta masih menggurita. Mengendalikan dan memaksa dunia. Ini pertanda, manusia beriman harus kembali memegang kekuasaan. Memimpin dan memegang kendali. Shaykh Abdalqadir as sufi memberi satu kata: defenestration. Ini jalan menuju ‘new nomos’, sebagaimana digambarkan Carl Schmith.

Dari new nomos, penggabungan generasi berlandas ‘assyabiyya’ yang menentang kemusyrikan. Sebagaimana ditunjukkan para Pemuda Kahfi. Berkumpul bersama, membentuk suatu entitas, kumpulan kaum yang meyakini ‘segala sesuatu adalah perbuatan Allah Subhanahuwataala semata.’

Inilah jaman itu. Disela-sela ketakutan dunia, yang diproduksi massal. Bak penggambaran Ian Dallas, dalam ‘The Engine of the Broken World.’ Kejadian yang dulu pernah menimpa Romawi dan Eropa klasik, kini terulang lagi.

Karena virus yang membahayakan tentu kemusyrikan. Virus yang meracuni bahwa segala sesuatu adalah ‘perbuatan manusia’ semata. Disinilah pentingnya kembali Tauhid. Tapi bukan yang merujuk pada ‘Tauhid versi kaum mujasima, atau neo mu’tazilah. Melainkan Tauhid Qurani, yang terjaga dalam ajaran-ajaran tassawuf yang bersanad. Tauhid yang memperkenalkan tentang ma’rifatullah. Bukan teologi.

Sebagaimana Hadist Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam: “Iman akan kembali ke Madinah seperti ular kembali ke liangnnya.” (HR Muslim). Iman itulah aqidah. Tauhid. [Tamat]

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq (Direktur Daar Afkar)