Soal Aqidah pada ‘Corona’ (Bag.2, Habis)

Karena yang dominan, masih penanganan ala medical sains, yang tentu bersandar dari rasionalitas belaka. Ini fakta bahwa ‘perbuatan manusia’ dan ‘perbuatan Tuhan’ masih dibedakan. Padahal dunia, seperti dijelaskan Shaykh Abdalqadir as sufi, merupakan bagian dari mekanika quantum-nya Allah Subhanahuwayaala. Nalar manusia membuatnya terbagi, menjadi perbuatan buruk dan perbuatan baik, dan asal usulnya.

Inilah yang menggejala masa modernitas. Nietszche menggambarkan ini sebagai nihilisme. Dalam perspektif kekuasaan, ini fase manusia yang dipimpin oleh kaum perusak. Polybios menggambarkannya sebagai fase okhlokrasi. Bukan lagi demokrasi. Martin Heidegger, filosof abad 20, telah menjabarkan, “Filsafat tak bisa dijadikan sandaran menentukan Kebenaran.”

Sementara, sistem dunia kini masih bersandarkan pada warisan filsafat modernitas. Termasuk dalam segala hal. Apalagi urusan menangani virus, yang dianggap berasal dari ‘perbuatan manusia’ belaka. Rasionalitas menjadi acuan satu-satunya. Statement WHO maupun lembaga-lembaga dunia, hanya mengacu pada angka-angka, bukti empiris, yang bersandarkan pada materislisme.

Ini yang mendominasi dunia. Dan manusia seantero dunia, wajib ‘taqlid’ padanya. Tanpa boleh membantah. Karena ‘state –hasil karya kreasi filsafat kekuasaan–, yang menstempel untuk mewajibkan manusia harus percaya. Tentu sembari menebarkan ‘ketakutan’ dan kekhawatiran. Dan bankir, tetap bekerja di balik ‘ketakutan’ dunia. Mereka terus memproduksi angka-angka, alat tukar yang wajib diikuti dunia. Tak perduli virus, yang dianggap wabah dunia. Inilah nihilisme, sebagaimana digambarkan Nietszche.

Dari sini, kaum ‘ahlul Sunnah waljamaah’, harus cermat dalam melihat. Karena berlepas dari paham ‘jabariyya’ atau ‘qadariyya’. Bahwa ini semua perbuatan Allah Subhanahuwataala. Sebagaimana pula maksud dan tujuannya. Karena Allah Subhanahuwataala berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash Shaaffat: 96)

Sepenuhnya merupakan perbuatan Allah Subhanahuwataala semata. Perbuatan baik dan perbuatan buruk. Tak ada dualisme. Tapi bukan menjadi ‘jabbariyya’ yang bak ‘kapas yang tertiup angin’. Melainkan dengan ikhtiar, kemampuan untuk berusaha. Dan Allah Subhanahuwataala yang menentukan.

Dan tragedy corona telah memberitahu dunia. Betapa mesin dunia kini masih dikendalikan kaum ‘ration scripta’, yang mudah menebarkan ‘ketakutan’ dan kengerian seketika. Akibat tak lagi merujuk pada Sang Pencipta. Kematian seolah menjadi musibah yang luar biasa. Bukan sesuatu yang dirindukan. Dari ‘Wuhan’ menunjukkan ‘al wahn.’ Ini faktanya.

Ketika Mongol menyerbu, memporak-porandakan Baghdad, disitu bak virus yang mewabah kaum muslimin. Perpustakaan filsafat dibakar, Bait al Hikmah. Seolah itu bencana besar bagi muslimin. Interagnum pertama, muslimin tanpa Khalifah. Tapi di balik itu, Allah Subhanahuwataala memberi ganjaran. Kaum Mongol yang kemudian memimpin Islam. Utsmaniyya dan Moghul berjaya.