Soal Aqidah pada ‘Corona’ (bag.1)

Bahwa manusia tak bebas dalam melaksanakan ‘perbuatannya.’ Mu’tazilah memandang, manusia mempunyai qudrah yang besar dan bebas. Manusia yang menciptakan perbuatan, dan Allah mustahil bersifat lemah. Qudrah, dianggap dikuasakan oleh Allah kepada manusia. Al Quran Surat Sajdah ayat 7, menjadi salah satu dalil. Dan pandangan dualisme tentang pencipta ‘perbuatan baik dan perbuatan buruk’.

Tuhan, dianggap hanya mencipta perbuatan baik. Sementara perbuatan buruk, datang dari manusia. Karena Tuhan, dianggap tak mencipta ‘perbuatan buruk,’ disitulah pertemanan dengan paham filsafat Yunani menjadi kentara. Rasionalitas, logika, menjadi titik pertemuan dalam menentukan kehidupan dunia. Sains pun menjadi salah satu bentuk hasil kreasi filsafat Islam dahulu. Hambalah, yang menurut mu’tazilah, menentukan perbuatannya sendiri. Manusia berkuasa atas perbuatan, tanpa intervensi Tuhan.

Sementara jabbariyya, kebalikannya. Paham ini percaya, “manusia tak sanggup menciptakan atau memperoleh sesuatu. Manusia hanya ‘bagaikan bulu dalam tiupan angin.’ Hanya pasrah semata. Dari sinilah muncul Imam Asy’ari, Imam Mathuridi yang mencegat kedua paham itu mewabah. Maka dikenal aqidah Asy’ariyya dan Mathuridiyya. Ini yang disebut aqidah ‘ahlul Sunnah Wal Jamaah.” Selepas merebaknya mu’tazilah.

Kitab Imam Asy’ari, Al Ibanah, tapi bukan yang versi revisi oleh kaum ‘mujasimmah’, menegaskan tentang aqidah ahlul Sunnah. Imam Asy’ari berkata, pendapat mu’tazilah tentang hamba yang menciptakan ‘perbuatan buruk’, itu sama dengan pendapat kaum Majusi. Mereka percaya adanya dua pencipta: pencipta kejahatan dan pencipta kebaikan. Memang, pemisahan dua hal ini merusak aqidah.

Dalam kaum awam, inilah mengapa orang menyembah lautan, menyembah pohon kayu, karena seolah bala atau perbuatan buruk datang dari setan atau iblis yang berada di lautan atau pohon kayu. Ini karena pemahaman dualisme pencipta perbuatan baik dan perbuatan buruk.

Selepas mu’tazilah, Imam Ghazali membantah habis tentang aqidah itu. Kesesatan filosof, dituangkan tuntas. Shaykh Abdalqadir al Jilani, kemudian menggaungkan tassawuf, dan membawa banyak muslimin kembali pada tassawuf. Dan Imam Ghazali pun merekomendasikan jalur tassawuf sebagai jalur paling aman dalam memahami Dinul Islam. Bukan dengan akal atau rasionalitas semata. “Sesungguhnya akal tidak bisa dijamin aman dari kesalahan. Maka tak bisa dibenarkan mengambil hakekat ajaran agama darinya,” kata Imam Ghazali.

Tapi filsafat kemudian menyeberang ke Eropa. Thomas Aquinas memungutnya dari Cordoba. Grotius memulai melawan dogma Gereja Roma. Mereka gunakan filsafat seolah melawan paham ‘jabbariyya’ yang digelontorkan Gereja Roma. Disitu memang masih berguna. Tapi kemudian filsafat kelewat batas. Seperti kekhawatiran Imam Ghazali. Filsafat melahirkan modernitas. Rasionalitas menampakkan wajah aslinya di Eropa. Bukan lagi berwujud mu’tazilah. Tapi kemudian melahirkan paham ateisme, atau materialisme. Paham berlandas lahiriah semata.

Cogito ergo sum-nya Descartes mulai mewabah. Sebelum Francis Bacon pun telah mengutak-atiknya, dengan aqidah ‘Aku ada maka aku berpikir.” Manusia bukan lagi objek yang diamati. Melainkan subjek yang mengamati.

Rennaisance, yang masih berfilsafat illahiyyun, berubah menjadi filsafat dahriyyun. Masa itulah filsafat rennaisance meng-kristen-kan Socrates, Plato, Aristoteles dan filosof lainnya. Dari belantara itu, ‘Tuhan’ kemudian mulai ‘disingkirkan.’ Hingga Voltaire berkata, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah diktator, dan segala kediktatoran haruslah ditolak.”

Dari sini, perbuatan segalanya merupakan kehendak manusia. Tak ada lagi defenisi kehendak Tuhan. Makanya dalam perihal kekuasaan, dominasi kehendak manusia menentukan. Yang cocok untuk ini, maka disebut ‘demokrasi’. Dalam urusan hukum, kehendak manusia wajib dipatuhi sepenuhnya. Filsafat ini melahirkan filsafat hukum. Lahirlah yang disebut ‘konstitusi’, merujuk pada filsafatnya Rosseou.

Kemudian urusan keuangan, alat tukar, berawal dari filsafat yang melahirkan filsafat ekonomi. Muncullah banking system. Dan bank, seolah mendapat kuasa dari seluruh manusia, yang dikuasakan oleh Raja. Lihat revolusi Inggris, 1668 dan revlolusi Perancis, 1789, sebagai titik awal mulainya. Disitu bankir mendapat kuasa dari ‘Raja’ untuk mengelola keuangan. Revolusi Perancis, bankir mendapat kuasa dari Presiden, untuk menerbitkan mandiri uang. Lahirlah uang kertas, menggantikan emas dan perak. Ini buah dari cara berpikir filsafat dahriyyun. Ateisme. Tentu, ‘Tuhan telah mati,” kata Nietszche. [Bersambung]

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq (Direktur Daar Afkar)