Soal Aqidah pada ‘Corona’ (bag.1)

Dan ini dianggap ‘perbuatan manusia.’ Ini cara pandang nalar, logika. Filsafat, tapi yang sudah post modernisme. Bukan lagi dari kaum filosof illahiyyun (ketuhanan). Melainkan dari filosof dahriyyun (ateisme). Ini yang mayoritas mendunia kini. Imam Ghazali membagi tiga jenis filosof: ilahiyyun (ketuhanan), tabiiyyun (naturalisme) dan dahriyyun (ateisme).

Filsafat abad 21 ini, tentu bukan lagi seperti filsafatnya Ibnu Sina. Apalagi yang disampaikan Socrates, Plato, Aristoteles. Mereka, kata Imam Ghazali, dikategorikan filosof ilahiyyun. Masih berpikir tentang Ketuhanan. Cara berpikir Cartesius dan Kantian, yang kini jamak mendominasi. Memenuhi ruang-ruang istana kepresidenan, kurikulum hingga laboratorium. Bahkan beberapa masuk ke ruang-ruang masjid dan peribadatan.

Karena kedokteran, ini hanya buah dari filsafat tentang biologi (logika tentang tubuh). Dari sana anatomi tubuh dipelajari. Dan tentang ‘corona’, tentu kaum manusia modern kini jamak disuguhi perihal anatomi virusnya, cara kerjanya, sampai urusan metode penyembuhannya.

Sekali lagi, seolah peranan ‘Tuhan’ tak dilibatkan. Dan inilah cara pandang neo mu’tazilah. Lebih ekstrim dibanding masa mu’tazilah. Fase mu’tazilah, merupakan dominasi filosof ilahiyyun. Sementara filsafat materialisme kini, berawal dari rennaisance yang memunculkan modernitas. Inilah cara berpikir yang mendominasi dunia kini.

Islam dulu pernah merebak mu’tazilah. Ketika cara berpikir merujuk nalar semata. Ini dimulai tentang debat “Qada dan Qadar”. Selepas merebaknya paham ‘jabarriyya’. Segala sesuatu ketentuan wajib diterima. Tanpa manusia boleh menentangnya.

Fase beberapa kekhilafahan, ‘aqidah’ ini sempat menjadi senjata. Untuk menghukum musuh-musuh yang tak disenanginya. Dari sana kemudian masuk paham filsafat. Bermula menjadi ‘qadariyya’ (bukan Qadiriyya –tariqah Shaykh Abdalqadir al Jilani, tapi ‘qadariyya’!), yang berujung pada mu’tazilah. Dari sinilah cara pandang melihat Dinul Islam, seluruhnya dengan akal semata. Rasio menjadi pijakan utama.

Ibnu Khaldun menggambarkan, hanya berlandas dalil ‘aqli’ semata. Dalil naqli pun, di-aqli-kan. Beginilah mu’tazilah. Yang merujuk pada filsafatnya kaum Yunani kuno. Masa itu, Socrates, Plato, Aristoteles di-Islam-kan. Memang sains Islam membahana.

Tapi satu sisi, muslimin kehilangan Al Quds, untuk fase pertama. Sebelum kemudian dibebaskan oleh Sultan Salahuddin al Ayyubi, yang bukan produk mu’tazilah. Dan kemudian Hulagu Khan dan kaum mongol, memporak-porandakan Baghdad, ibukota kekhilafahan. Perpustakaan besar di Baghdad, ‘Bait al Hikmah’, berisi ribuan buku-buku filsafat, dibakar dan dibumihanguskan oleh Mongol.

Bagi pecinta filsafat, itu adalah bencana. Bak wabah corona kini. Tapi itu rahasia Allah Subhanahuwataala. Karena dua generasi kemudian, kaum Mongol dan keturunannya yang masuk Islam dan memuliakannya seantero dunia. Muncul-lah Daulah Utsmaniyya dan Moghul.

Mu’tazilah merasionalisasi dalam melihat Islam. Hingga dulu banyak berbangga, menyematkan nama belakangnya dengan “al mu’tazili”. Bahwa dia seorang mu’tazilah. Ini sedikit dekat dengan ‘mujasima’. Kaum yang menjisim-kan Allah. Tapi dulu jumlahnya tak banyak. Bukan mayoritas.

Tapi kini paham mujasimah yang jamak mayoritas. Menguasai aqidah kaum muslimin. Mereka bisa berjalan beriring dengan mu’tazilah. Al Mas’udi, tokoh mu’tazilah, dalam kitabnya ‘Muruj al Dzahab’, menerangkan tentang dualisme perbuatan. Sepenuhnya segala sesuatu adalah ‘perbuatan manusia’. Qudrah dan iradah berada di tangan manusia. Ini kontradiksi dengan paham ‘jabariyya’.