Tertundanya pembayaran piutang klaim membuat manajemen RS seolah kesulitan bernafas. Para pemodal kecil RS menghadapi suasana kritis. Melanjutkan bisnis dihadang tipisnya oksigen likuiditas. Mundur dari bisnis dihadapkan pada value jual RS yang menurun.
Keadaan ini seolah merupakan bagian dari skenario besar para pemilik modal besar untuk mencaplok sejumlah rumah sakit yang sekarat akibat mismanajemen di BPJS Kesehatan.
Skenario ini seperti sebuah rencana yang disusun rapih antara rezim yang berkuasa saat ini dengan para taipan yang bergerak dalam industri rumah sakit dan pelayanan kesehatan.
Perusahaan besar yang telah lebih dulu membangun dan mengembangkan unit bisnis dalam industri rumah sakit, diantaranya Grup Lippo.
Kelompok usaha milik Mochtar Riady dan anaknya James Riady ini, telah memiliki jaringan RS Siloam di berbagai daerah di Indonesia.
Demikian juga Grup Usaha Mayapada milik Ang Tjoen Ming atau biasa dipangggil dengan nama Indonesia, Tahir, telah membangun RS Mayapada di sejumlah Kota di Indonesia.
Kelompok usaha besar itulah yang memiliki kemampuan membeli rumah sakit yang sekarang valuenya sedang jatuh akibat seretnya pembayaran klaim BPJS.
Jika kondisinya seperti sekarang, bukan mustahil nantinya pelayanan kesehatan masyarakat bukan lagi menjadi domain pemerintah, tetapi akan diambil alih perusahaan swasta yang memiliki kapital besar seperti Grup Lippo dan Mayapa Grup.
Selain kedua perusahaan konglomerasi tersebut, bisa jadi yang akan mengakuisisi rumah sakit-rumah sakit yang “sakit” tersebut adalah konsorsium investor RS di luar negeri.
Lalu apa dampaknya selanjutnya? Masyarakat menengah bawah akan semakin sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau.
Bila demikian, maka benarlah kata Cak Nun (Emha Ainun Najib) : “Indonesia ke depan memang akan maju, tetapi kalian akan menjadi jongos”. Na’udzubillah. [rmol]
*) Penulis: Tjahja Gunawan, Wartawan Senior, Punulis Buku Chaerul Tanjung Anak Singkong