Skenario Pandemi: Berhala Vaksin dan Tipudaya WHO

Kecurigaan menggeliat ketika pada tahun 2015 merebak virus H5N1 di Indonesia atau yang lebih dikenal publik virus flu burung. Virus H5N1 pada tahun 2004 pernah menerjang Vietnam, Thailand  dan Cina.

Menteri Kesehatan RI pada waktu itu, Dr. Siti Fadilah Supari yang memiliki basic peneliti dan seorang dokter merasa heran saat virus flu burung menyebar dengan cepat dan secara tiba-tiba banyak pedagang farmasi menawarkan rapid diagnostic test dan vaksin kepada Siti Fadilah.

Atas nama tegaknya kedaulatan negara, Siti Fadilah telah menyingkap tabir atas merebaknya virus H5N1 dan mencium bau busuk tipu daya WHO dan neo-kolonialisme industri farmasi Amerika Serikat tentang adanya konspirasi global yang melahirkan ketidakadilan dalam penanganan masalah kesehatan di dunia internasional.

WHO secara sepihak memberlakukan ketentuan untuk mengirimkan sample virus yang diambil dari korban yang meninggal akibat virus tersebut, dan dikirim ke WHO CC (Collaborating Center) agar dibuat seed virus.

Kemudian vaksin pun dibuat yang bersumber dari seed virus. Ironi besar muncul mengamati produsen vaksin adalah perusahaan asing dari negara adidaya yang tidak terkena virus H5N1.

Tetapi vaksin yang dibuat telah didistribusikan untuk dijual ke seluruh dunia dan dikemas dengan mitos untuk meningkatkan imunitas tubuh manusia.

Dalam buku ‘Saatnya Dunia Berubah,’ dengan tegas Siti Fadilah mengeluarkan kebijakan melarang pengiriman sample virus kepada WHO atas dasar kecurigaan yang memicu perlawanan terhadap Global Influenza Surveilance Network (GISN) yang dijadikan tameng WHO untuk memaksa mengirimkan sample virus.

Menarik garis demarkasi pada tirani dan berani melawan sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat terhadap hegemoni WHO dalam perang soft power melawan plandemi Covid-19 adalah jalan pedang para ksatria kemanusiaan untuk membebaskan peradaban umat manusia dari skenario pembunuhan massal yang dijalankan secara global dan sistematis oleh para elit globalis.