Eramuslim.com – Fokus pemerintahan Presiden Jokowi untuk menawarkan sejumlah proyek di luar Jawa kepada pemerintah Cina, sebenarnya wajar-wajar saja sejauh terkait kerjasama ekonomi kedua negara.
Tapi ketika dalam forum Belt and Road yang berlangsung pada 14-15 Mei pemerintah menawarkan pembangunan pelabuhan udara di Manado, lonceng peringatan tanda bahaya sudah selayaknya didengungkan.
Apakah ini merupakan kelanjutan dan tindak-lanjut keinginan pemerintah Cina untuk diikutsertakan dalam salah satu program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Bitung Sulawesi Utara?
Sebab pada akhir masa kepresidenan SBY 2014 lalu, sempat berlangsung pertemuan antara Menko Perekonomian Chairul Tanjung dan Duta Besar Cina H.E. liu Jianchao, yang mana Cina berjanji akan menetapkan Indonesia sebagai wilayah target investasinya. Bahkan bukan itu saja. Cina ingin masuk dalam satu kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia.
Ini jelas merupakan perkembangan yang cukup mengkhawatirkan, sebab itu berarti pemerintah Indonesia telah membuka pintu lebar-lebar bagi para Taipan Pesisir Cina Selatan untuk melakukan invasi ekonomi ke beberapa wilayah yang punya nilai strategis secara geopolitik di Indonesia.
Untuk mendukung skema ini, Cina meminta dilibatkan dalam KEK di Bitung, Sulawesi Utara. Dalam skema kerjasama ekonomi antara RI-Cina itu, Bitung, sebagai alah satu kota di Sulawesi Utara, Cina akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Cina di balik kerjasama kedua negara tersebut, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.
Maka, rencana pemerintahan Jokowi untuk membangun pelabuhan udara di Manado dalam kerangka Proyek Infrastruktur di luar Jawa, agaknya layak diwaspadai. Sebab bukan tidak mungkin, Cina akan memperkuat dan memperluas basis militernya di lokasi mana proyek infrastruktur tersebut dilakukan.
Dalam konteks ini, maka kerjasama Cina dan RI terkait pembangunan pelabuhan dan bandara di Bitung maupun Manado, pada perkembangannya bisa membahayakan pertahanan keamanan nasional kita.
Sebab bisa-bisa, lapangan udara maupun pelabuhan-pelabuhan vital kita, secara Hankam akan sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara asing. Apalagi Sulawesi Utara secara geostrategi, dipandang sebagai pintu masuk Indonesia ke kawasan Asia Pasifik. Terutama ke Filipina yang merupakan sekutu tradisional Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara.
Dalam analisis M Arief Pranoto, pakar geopolitik Global Future Institute, melalui KEK, Cina seakan-akan memiliki daerah jajahan (baru) di Indonesia. Ia tak sekedar membawa uang semata, namun juga menyertakan sumberdaya manusia (SDM)-nya, pabrik-pabrik, secara serentak.
Dengan merujuk pada dokumen yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute (GFI), Arief Pranoto mengatakan bahwa pola kolonialisme ala Cina memang cenderung memakai ‘Pendekatan Panda’ (simpati) melalui investasi, capacity building, hibah, dan lain sebagainya.
Namun Arief Pranoto lebih jauh menengarai kemungkinan Cina akan memanfaatkan Skema KEK di Bitung, untuk melayani kepentingan strategisnya di bidang militer dan pertahanannya.
Prakiraan akan bercokolnya kepentingan strategis militer Cina dibalik skema KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:
Pertama, ambisi Cina membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Cina membangun pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk mengamankan “energy security” (ketahanan energi)-nya;
Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Cina membangun KEK di Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur;
Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI III, dimana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat mengendalikan dua ALKI sekaligus;
Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan “welcome”-nya Timor Leste terhadap militer Cina, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao. Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui ALKI III-A;
Kelima, inilah kontra-strategi Cina dalam rangka membendung gerak laju Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Philipina, dll maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Menado.
Berarti pilihan Cina untuk diikutsertakan dalam skema KEK di Bitung, jelas bukan semata atas dasar pertimbangan kerjasama ekonomi-bisnis. Melainkan sarat dengan pertimbangan militer dan pertahanan. Seraya dalam jangka panjang berusaha memperoleh hak mengelola infrastruktur seperti pelabuhan laut dan bandara minimum 30 tahun atau lebih.
Kalau kekhawatiran ini benar-benar terjadi, maka Cina dalam jangka panjang sistem pengelolaan infrastruktur pelabuhan laut dan badara akan dikendalikan pemerintah Cina. Dengan begitu, berarti skema kerjasama ekonomi yang dibangun dengan pemerintah Indonesia, sejatinya merupakan pintu masuk bagi penguasaan Cina terhadap sektor pertahanan dan kemiliteran. Yang pada perkembangannya akan menggerus kedaulatan wilayah nasional Indonesia. Bencana Geopolitik.
Hendrajit
(kl/aktual)
https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-pre-order-eramuslim-digest-edisi-12-bahaya-imperialisme-kuning.htm