Singapura Yang Angkuh Harus Diberi Pelajaran

Oleh Asyari Usman – Jurnalis, Pemerhati Sosial-Politik

 

Hari ini, Jumat (20 Mei 2022), ada rencana masyarakat melancarkan aksi protes di beberapa kantor perwakilan Singapura di Indonesia. Termasuk kedutaan besar mereka di Jakarta dan konsulat jenderal di Medan. Aksi unjuk rasa (unras) ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Ustad Abdul Somad (UAS) yang dideportasi oleh imigrasi Singapura adalah ulama yang dihormati di Indonesia.

Demo ini sekaligus untuk mengingatkan Singapura bahwa mereka mengusir UAS atas dasar islamofobia yang berbalut keangkuhan atau arogansi. Orang Indonesia, minus gerombolan islamofobik, melihat deportasi UAS itu sebagai penghinaan. Rakyat paham bahwa pendeportasian siapa pun adalah hak Singapura. Publik juga tidak masalah Singapura menunjukkan kesombongan.

Kesombongan itu boleh jadi punya dasar. Singapura memang negara hebat. Masuk ke dalam kelompok papan atas di dunia untuk urusan pendapatan per rumah tangga (household income), pada angka USD37,200 per tahun. Di atas Amerika Serikat dan Inggris. GDP mereka lebih tinggi lagi, yaitu USD97,000 per tahun –nomor dua setelah Luksemburg. GDP Indonesia USD4,400. Inilah yang menyebabkan mereka arogan. Angkuh setengah mati.

Mereka tergolong negara maju, tidak perlu kita iri hati. Karena mereka bekerja keras untuk itu dan mampu mengelola diri di tengah ketiadaan sumber alam. Jasa –segala macam jasa— adalah andalan Singapura. Dari sinilah mereka hidup dan membangun kekuatan. Sekarang ini, mereka adalah perekonomian terkuat di Asia Tenggara. Juga militer yang terkuat. Angkatan udara Singapura paling kuat di ASEAN.

Semua ini mengantarkan pemerintah Singapura yang didominasi etnis China ke tingkat arogansi tertinggi itu. Orang Indonesia, khususnya orang Islam, dianggap musuh oleh Singapura. Kecuali segelintir saja yang memiliki kelebihan akademik. Atau yang punya uang banyak yang disimpan di bank-bank negara ‘seupil’ itu.