Bukan soal dinastinya, tetapi idiotnya itu. Rakyat pun tidak bisa berbuat apa-apa memiliki Kaisar yang bukan saja “incompetent” tetapi abnormal.
Caligula dan Nero adalah contoh Kaisar yang gila kuasa. Kekuasaan adalah Tuhan.
Kejumawaan Gibran merupakan fenomena politik kolusif dan nepotisme. Bukan kompetisi obyektif dan fair. Apresiasi pada kapasitas kah sehingga Megawati Ketum PDIP dan Sandiaga Uno Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra akan ikut berderet berkampanye untuk Gibran?
Atau ini urusan dengan ayahnya yang Presiden? Adakah partai berkoalisi mendukung penuh itu berhubungan dengan budaya politik sandera, proteksi atau transaksi?
Olok-olok publik pada Gibran muncul soal pencitraan yang berfoto koko peci mengimami shalat berjamaah. Komentar netizen demi jabatan walikota siap menjadi kadrun. Like father like son.
Teringat kembali Novel “The Da Peci Code” karya Ben Sohib. Soal sengketa interpretasi pemakaian peci di keluarga marga al Gibran di Betawi. Peci pencitraan.
Mungkin bagi Gibran angka kemenangan 92 persen adalah hal yang “biasa saja” karena dirinya hanya orang yang “biasa saja” dididik oleh orang tua yang menganggap anak mantu besan maju pilkada itu “biasa saja”.
Nepotismekah ? “biasa saja”. Jika menjadi Walikota ternyata tidak becus dan korup maka itu juga “biasa saja”. Biarlah kalau begitu masyarakat yang menghukuminya dan itu “biasa saja”.
Selamat menikmati kampanye pilkada di era Covid-19 “tuan 92 persen”. Kelak jika korban berjatuhan akibat pandemi Covid-19 meningkat maka hal itu adalah hal yang “biasa saja”.
Memang bangsa sudah payah punya Presiden dan anak Presiden yang “biasa saja”.(sumber: glr)
M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.