Pimpinan parpol, ormas, para tokoh dan cerdik cendekia masih menyampaikan puja-puji terhadap Soeharto. Dengan gelar Bapak Pembangunan, Soeharto mempunyai basis legitimasi yang sangat kuat.
Melalui gelombang aksi mahasiswa, dan berpuncak pada pendudukan Gedung MPR/DPR, pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri. Isu yang diusung mahasiswa saat itu adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Unjukrasa kali ini juga terjadi setelah Jokowi kembali “memenangkan” pilpres melawan Prabowo. Puja-puji para pendukungnya terhadap Jokowi juga luar biasa. Tak ada presiden lain sehebat Jokowi.
ASEAN Federation of Engineering Organization (AFEO) yang kali ini diketuai oleh Heru Dewanto – seorang alumnus UGM- baru saja memberi gelar kepada Jokowi sebagai Insinyur tertinggi Asia Tenggara.
Penghargaan tertinggi “The AFEO Distinguished Honorary Patron Award” ini, kata Heru, diberikan karena seluruh karya gemilang insinyur-insinyur Indonesia selama lima tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga seorang insinyur.
Kampus Universitas Trisakti berencana memberi gelar kepada Jokowi sebagai “Putra Reformasi”. Lengkap sudah.
Tidak ada tanda-tanda mahasiswa akan bergerak. Depolitisasi kampus berlangsung sangat massif. Mahasiswa seakan tidak peduli hiruk pikuk politik.
“Gadget, pesta dan cinta”, menjadi semacam kelanjutan kredo sebagian mahasiswa di masa lalu “Buku, pesta dan cinta”.
Mereka seakan tak peduli ada kecurangan selama pilpres berlangsung. Belasan pengunjukrasa tewas, dan ratusan pemrotes kecurangan pilpres ditangkap disiksa dan diadili.