Siapa Yang Masih Peduli dengan HRS dan Akhir Riwayat FPI?

* * *

Masa itu memang lagi trennya isu covid-19. Banyak pihak memanfaatkan isu covid-19 untuk keperluan macam-macam. Mulai dari keperluan bisnis seperti meraup untung besar dari momentum perdagangan setengah paksa alat test covid-19 hingga keperluan untuk menguasai opini dan politik.

Syukurlah akhirnya zaman fitnah Covid-19 itu berakhir dan luluh lantak serentak dengan meletusnya perang Rusia terhadap Ukraina. Perang yang masih berlangsung sekarang ini, menguji sekaligus merontokkan keabsahan Covid-19 sebagai pencegah kerumunan dan mobilitas orang. Bagaimana tidak, dalam perang sudah pasti kerumunan dan mobilitas yang tadinya menjadi sasaran protokol Covid-19, dilanggar dan diacuhkan. Walhasil, protokol Covid-19 ini pun kehilangan legitimasinya hingga membawa berakhirnya isu Covid-19 secara bertahap di berbagai negara. Termasuklah di Indonesia hari ini.

Mungkin jika perang yang dilancarkan oleh Vladimir Putin ini tidak terjadi hari ini, pemberlakuan Covid-19 sebagai “karantina” penduduk secara nasional di Indonesia bisa terus berlangsung hingga 2024. Sebab keberlakuannya sudah tampak bagaikan menurut kepentingan dan subjektif yang berkuasa saja. Hampir tidak ada satu kekuatan pun di Indonesia yang dapat menghentikannya. Untuk hal ini, rakyat Indonesia perlu berterima kasih kepada Presiden Putin yang telah merontokkan logika dan legitimasi Pandemi Covid-19.

Masih segar dalam rekaman ingatan, halmana waktu itu, betapa heboh dan genitnya para pejabat menjatuhkan sanksi kepada pihak yang tidak mereka sukai ketika kedapatan melanggar aturan kerumunan dan mobilitas. Dalam hal ini, ketibanlah nasib kepada HRS yang kebetulan sedang menyelenggarakan acara Maulid Nabi sekaligus pernikahan putrinya di kediamannya di Petamburan Jakarta Pusat.

Mengingat daya magnetnya sebagai tokoh besar massa yang baru datang dari pengasingan, tentu saja orang membludak berdatangan. Akibatnya, divonislah oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan bahwa HRS telah melanggar Peraturan Gubernur DKI No. 79 dan No.80 tahun 2020, halmana masing-masing berisi protokol kesehatan dan pembatasan sosial berskala besar.

HRS dan FPI diberi sanksi berupa denda administratif sebanyak Rp50 juta. HRS dan FPI membayar denda tersebut. Dengan demikian, HRS dan FPI mengakui kesalahannya sebagai pelanggar peraturan Covid-19. Itulah kemudian merembet hingga menggiringnya ke penjara sampai saat ini.

Waktu itu, Senin (16/11/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pihaknya tidak bersikap “basa-basi” saat memberikan denda kepada HRS karena telah melanggar protokol kesehatan.

Anies mengatakan sanksi itu disebutnya sebagai bukti bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta “serius” dalam menangani pandemi covid-19.

“Keseriusan itu dicerminkan dengan aturan dan sanksi denda. Sanksi denda di DKI itu bukan basa-basi, Rp50 juta itu membentuk perilaku,” kata Anies di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (16/11/2020).

Mahfud MD sendiri sebagai Menkopolhukan menimpali, pelanggaran protokol kesehatan terkait acara Maulid Nabi dan pesta pernikahan anak pimpinan Front Pembela Islam (FPI), HRS di Jakarta, merupakan “kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”.

Padahal semua juga tahu, betapa inkonsisten dan hipokritnya pemerintah dalam menerapkan prinsip social distancing. Betapa tidak, dan rasanya melanggar akal sehat, saat mana pemerintah pamer disiplin Prokes Covid-19 di momen yang mereka namakan PSBB demi katanya menyelamatkan nyawa rakyat, di momen itu pula diizinkan dan digelarnya Pilkada Serentak 2020 diselenggarakan di 270 daerah, yaitu 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten pada 9 Desember 2020.

Dan di antara faktor pendorong HRS kembali ke Indonesia, yaitu banyak pihak yang menginginkan peranannya sebagai king maker dan endorser untuk merebut pelbagai posisi kepala daerah di pilkada 2020 itu. Tapi apa yang terjadi, pada 7, 13 dan 30 Desember 2020 itu pula kekuatan HRS dan FPI dihabisi oleh yang tengah berkuasa.