Siapa Umar bin Khattab, Siapa Jae?

Umar dihormati di Barat bukan pada penaklukan tapi strategi militer yang digunakannya, yang memungkinkan tentara Muslim yang kalah jumlah dari tentara Sasaniyah dan Bizantium berhasil memorak-porandakan mereka secara gilang gemilang. Strategi militer Umar inilah yang kemudian dicatat sejarah sebagai salah satu strategi militer terbaik sepanjang sejarah yang berkontribusi besar pada pengembangan ilmu kemiliteran dunia di kemudian hari. Umar juga dihormati di Barat karena keluhuran moralnya.

Maka sungguh menyakitkan hati kaum Muslim ketika anggota DPR dari PDIP Arteria Dahlan memirip-miripkan Umar bin Khattab dengan Jae. Blusukan Jae di malam hari sambil membagi-bagi sembako kepada kaum miskin dimiripkan dengan gaya kepemimpinan Umar.

Memang Umar suka keluar di malam hari sendirian untuk mengetahui dan menyerap aspirasi rakyat. Tapi ia tidak membawa wartawan televisi dan sembako. Setelah mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan, baru Umar memikul sendiri karung gandum untuk diberikan pada si papah itu. Umar terpaksa melakukan blusukan karena belum ada media cetak dan elektronik seperti saat ini untuk memberitakan tentang hal-ihwal rakyat. Belum terbangun juga tata kelola pemerintahan seperti sekarang yang dipersenjatai dengan anggaran, sumber daya manusia dan teknologi canggih yang memungkinkan pemimpin negara tahu mana rakyat yang miskin dan apa aspirasi mereka.

Di negara-negara maju saat ini, rakyat miskin diketahui secara persis dan diayomi negara tanpa perlu kepala negara keluyuran di malam dan siang hari dengan menenteng sembako sambil disorot kamera televisi. Maka beda dengan Umar, jelas apa yang dilakukan Jae adalah pencitraan. Lagi pula, membagi-bagi sembako di jalanan dan kampung kumuh bukan pekerjaan yang layak dilakukan kepala negara masa kini. Dan memang tidak ada satu pun kepala negara di dunia ini yang mengerjakan pekerjaan sebagaimana dilakukan kepala negara Indonesia yang telah memiliki birokrasi modern dan mekanisme penyaluran bansos.

Kepala negara seharusnya duduk di istana memikirkan hal-hal besar yang strategis, mengatur dan mengarahkan para pembantunya, memerintahkan pejabat melalui telepon untuk meluruskan masalah yang diberitakan media. Bukan malah keluyuran di jalanan yang memancing kerumunan orang di saat negara sedang memberlakukan PSBB untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Kalau mau tetap keluyuran untuk menyalurkan hobi aneh itu, boleh saja, asalkan seperti Umar, yakni juga memikirkan dan mengeksekusi kebijakan negara dengan tegas dan konsisten untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara. Bukan memberikan kue terbesar ekonomi negara untuk segelintir kaum oligark dan hanya remah-remahnya saja untuk rakyat.

Tapi seharusnya, Jae tidak keluyuran di luar di tengah wabah pandemi di mana Jakarta adalah episentrumnya. Itu kalau mau dimirip-miripkan dengan Umar. Ketika wabah tha’un melanda Provinsi Syam (sekarang mencakup Suriah, Yordania, Lebanon, Israel, dan Palestina), rombongan Umar yang sudah berada di perbatasan membatalkan niatnya memasuki Syam setelah seseorang mengingatkan hadis Nabi yang memerintahkan orang luar tak memasuki wilayah yang sedang terpapar wabah dan orang di dalam tak keluar dari wilayah itu.

Inilah metode jitu — saat ini dikenal sebagai lockdown — untuk menghentikan penyebaran wabah yang dipraktekkan banyak negara di dunia menghadapi corona saat ini. Tidak seperti Umar, Jae malah muncul di ruang publik dengan wajah cengengesan, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dia orang paling berani menghadapi corona. Sikap bodoh yang ditertawai alam semesta. Ia malah menolak lockdown dan memilih PSBB ketika semua sudah menjadi terlambat. Karena PSBB baru diberlakukan beberapa bulan sejak corona pertama kali merebak di Cina. Larangan mudik baru diberlakukan empat bulan kemudian setelah jutaan orang telah menyebar corona hingga ke desa-desa.