Jangan terlalu cepat bicara tentang konsep kepemimpinan negeri ini sebagai yang telah menempatkan suara rakyat adalah suara Tuhan. Pada konsep presidensial itu nyata-nyata pemenang pilpres dengan leluasa memainkan pendulum kekuasaan untuk dan karena apa pembangunan lima tahun mendatang. Menjaga yang sebelumnya baik dan atau membuat trobosan baru yang lebih baik lagi.
Setiap tahun bahasan kemana dan untuk apa uang digunakan memang harus ketok palu lembaga legislatif, tapi tidak bisa sepenuhnya mengerem laju kekuatan seorang presiden. Pemimpin eksekutif mempunyai banyak alasan untuk menentukan arah pembangunan. Bahkan untuk mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang ketika mengalami jalan buntu negosiasi. Posisi seorang presiden memang sangat seksi meski bukan seorang raja seperti jaman dahulu kala.
Presiden republik ini pasca reformasi memang telah diberikan daya kontrol oleh lembaga legislatif. Mengingat pengalaman pahit rezim orde baru yang telah melahirkan banyak kepentingan yang barjarak dengan kadar kedaulatan Tuhan. Terutama keterpilihannya oleh lembaga perwakilan yang ditengarai membajak pilihan rakyat. Gulungan parlemen jalanan akhirnya menyulap sistem pemilihan menjadi pilihan langsung sejak 2004.
Namun 15 tahun berlalu, yang terasa adalah euforia bisa menentukan pilihan secara langsung, dengan ongkos demokrasi mahal yang entah kapan bisa dibayar lunas. Ongkos itu konon akan terus dicicil sampai keturunan kita entah sampai generasi keberapa. Setiap hajatan kontestasi membutuhkan dana triliunan rupiah, baik yang digelontorkan kas negara plus jaringan sponshorship pemenangan.
Seorang presiden ke depan mempunyai tugas maha berat mengemban amanah eksperimentasi pemilihan langsung. Dengan ongkos tidak murah yang diharapkan bisa melahirkan pembangunan yang jauh di atas rata-rata. Sungguh sebuah beban yang tidak ringan, siapa pun yang berhak duduk di istana negara pasti akan merasakan kekagetan luar biasa.