Layaknya bermain catur amatiran, mengingat demokrasi kita baru seumur jagung, para pemain sering menganulir langkahnya. Hanya karena lengah kala ada bisikan langkah baik dalam benak pemain maupun para penonton, ketika memindahkan bidak masih minta untuk dikembalikan pada tempat asalnya. Pihak lawan juga seolah tidak berdaya menerima pola permainan yang jauh berbeda dengan permainan profesional.
Para penonton juga makin hari bertambah penasaran siapa yang jadi pemenang. Mereka bisa leluasa membisikkan bahkan menggerakkan tangan yang menunjukkan langkah terbaik untuk menangkis serangan. Ketika langkah perpindahan bidak dilakukan oleh pemain, pasti ada yang menyela. “Tuh kan harusnya bukan itu jalannya”, kata seorang penonton yang merasa dirinya diabaikan.
Harus disadari demokrasi meminta ongkos mahal untuk lebih baik dan berkualitas. Tengok saja demokrasi di belahan dunia lain yang konon lebih maju, tapi belum tentu mencapai tarap ideal. Demokrasi adalah proses menempatkan suara rakyat sebagai majikan bagi siapa pun yang menang dalam Pilpres 2019. Ini butuh waktu sehingga lebih ranum untuk dipanen raya.
Meski rakyat adalah pemegang penuh daulat memilih, tapi sebenarnya mereka adalah penonton yang satu saat senang tapi pada saat lain jadi kecewa. Mereka hanya punya waktu tidak lebih dari lima menit untuk menentukan siapa pemenang, selebihnya menjadi milik para pemain. Siapa pun yang menang akan punya banyak waktu untuk menggunakan kekuasaan.