Pemilu Afghanistan berlaku dalam suasana yang amburadul. Tak ada hasil, tak ada statistik, dan tak ada yang menang dalam pemilihan umum itu. Namun Hamid Karzai sudah mengumumkan bahwa ia lah sang pemenang. Begitu juga rivalnya, Abdullah Abdullah. Ashraf Ghani, kandidat ketiga, juga tak mau kalah. Hanya 40 atau 50 % rakyat Afghanistan yang mengikuti pemilihan umum—bandingkan dengan pemilihan umum lima tahun lalu yang masih diikuti oleh 70% rakyat Afghan.
Penghitungan masih terus dilakukan sampai saat ini, dan tampaknya belum akan selesai sampai Sabtu mendatang. Deen Mohammad, manajer kampanye Karzai, mengklaim bahwa sang incumbent—tiada lain Karzai—telah meraih suara 50% dari pemilih, dan otomatis akan menjadikan Karzai sebagai pemenang kontes. Sedangkan dari kamp Abdullah, mereka mengklaim telah memenangkan 61%.
Semuanya simpang siur dan linglung. Sementara Komisi Pemilihan Umum Independen menyatakan keduanya terlalu lancang untuk berbicara, sementara hasil penghitungan pemilu mungkin baru bisa dilaksanakan paling tidak setelah hari Selasa pekan depan. Itupun kalau tidak halangan.
Sementara Ghani, mantan menteri keuangan Karzai, menyatakan bahwa baik Karzai maupun Abdullah telah melakukan penipuan dan pencurian sejak awal pemilu dilakukan. “Abdullah melakukannya di utara karena di sanalah para pendukung terbesarnya, sedangkan Karzai hampir di seluruh negeri.”
Menurut Ghani, tinta yang dipakai oleh pemilih yang telah memilih dan menandai jarinya, begitu mudah dihapus, hingga tak heran banyak orang yang memilih dua kali. Ia pun menyebutkan bahwa kamar pengambilan suara dimana diperkirakan rakyatnya tak akan memilih Karzai, dijada ketat. Juga adanya pemalsuan nama-nama pemilih wanita. Contoh paling jelas di Kabul, yaitu dimana 150.000 pemilih wanita digelembungkan.
Keluhan Ghani lebih terdengar sebagai pecundang, karena ia diperkirakan hanya menduduki peringkat ketiga. The International Crisis Group mengatakan bahwa system pemilihan umum Afghanistan sangat rapuh. Jumlah pemilih tetap misalnya, diakali sedemikian rupa. Di Nuristan sebagai contoh, penduduk pemilih yang berjumlah 443.000 hanya disebutkan sebanyak 130.000 saja. Di Panjshir, kota di mana Abdullah tinggal, penduduk pemilih yang berjumlah 190.000 dilaporkan sebanyak 137.000! Bisa dikatakan ada sekitar 17 juta pendududuk Afgahistan yang enggan memilih.
Lantas bagaimana dengan Taliban? Mullah Sabir, seorang koamndan senior di Wardak, Logar, bertanya, “Apa artinya pemilihan umum ini? Bagaimana bisa pemilu ini disebut demokratis jika sebagian besar pemilihnya tinggal di rumah, dan sementara pasukan asing sedang menjajah negeri kita?” Kepada Newsweek, Sabir mengatakan bahwa pada hari pemilihan ia mengendari motor mengelilingi sebagian provinsi Ghazni. “Orang masih mendengarkan (kami) dan sebodo amat dengan pemilu ini. Kami sekarang ada di mana-mana.”
Mungkin Sabir terlalu melebih-lebihkan. Namun kenyataan bahwa pemilih di selatan dan timur tidak terlibat dalam pemilu telah memberikan gambaran bahwa Taliban-lah yang memenangkan hati rakyat. Banyak bangsa Pashtun yang takut memilih karena pemerintah Afghan yang dholim. Saat ini, tak ada satupun kandidat presiden Afghanistan yang kredibel. Sebagai orang Islam yang mempunyai harga diri, rakyat Afghanistan memilih untuk abstain dalam pemilu daripada dipimpin oleh seorang presiden yang korup dan hanya merupakan perpanjangan tangan dari pihak asing.
Sebuah tantangan besar untuk presiden baru Afghanistan; membawa rakyatnya yang telah dikelabui dan dipinggirkan selama lima tahun belakangan ini. Jika ia gagal, maka pemenang sesunggunya dari pemilihan umum Afghanista Agustus 2009 ini bukan lah Karzai, atau Abdullah, tapi Taliban. (sa/newsweek)