Setelah Madrasah, Masjid dan Pesantren, Apa Lagi?

Apa yang telah dilakukan selama ini oleh aparat, seperti sebagian telah disenarai di atas, berkonsekuensi sangat luas dan tidak menghasilkan kebaikan pada negara ini (persoalan ini akan diulas pada tulisan terpisah). Maka, tepat sekalilah jika Boy Rafli bersedia mengubah kriteia dan indikator yang menyangkut radikalisme-trerorisme.

Hemat saya, setidaknya empat azas harus dipenuhi agar penanggulangan radikalisme-terorisme tidak malah menjadi teror bagi sesiapa dan kelompok apa pun.

_Pertama._ Defenisi “radikal” dan “teror” haruslah benar-benar jelas,  sehingga terhindar dari kemungkinan bias atau dibiaskan.

Khusus masalah “radikal”, perlu ditentukan batasan: radikal macam apa yang dibolehkan dan radikal seperti apa yang dilarang. Atau dicarikan isltilah lain (karena kita terlanjur membingungkan diri dengan memaknai radikal  secara negatif)  untuk radikal yang dilarang. Ini penting agar jangan sampai anak-anak kita di kemudian hari (karena takut) tidak  lagi mau melakukan hal-hal radikal (meski positip), tidak mampu berfikir radikal. Akibatnya lahirlah generasi yang pikirannya tanpa pijakan alias mengawang-awang, ucapannya kosong tanpa bobot dan  tindakannya hanya mengekor tanpa inisiatif dan tak mampu berinovasi. Yang demikian inilah  generasi terjajah.

_Kedua._ Khusus menyangkut radikaisme. Sepanjang terkait dengan kenegaraan, maka alat ukur yang tepat untuk menentukan  tingkat negatifitas radikal  (batas toleransi) adalah Pancasila dan UUD 1945. Bukan pandangan subjektif penguasa.

Orang beragama yang baik haruslah radikal, berpegang teguh pada dasar-dasar ajaran agama sebagaimana yang ada di kitab suci dan ajaran Nabinya. Maka, bila berkaitan dengan keyakinan dan ajaran agama, negatifitas radikal sesesorang atau kelompok orang harus diukur dengan nilai-nilai ajaran agama yang mereka yakini. Sepanjang  masih memiliki landasan dari sumber nilainya, tidak boleh diharamkan. Ini untuk menjamin terlaksananya Pasal 29 ayat 2 UUD1945.