Setelah Madrasah, Masjid dan Pesantren, Apa Lagi?

Masih banyak catatan yang bisa diungkap.  Namun sepenggal senarai di atas, cukuplah untuk memahami kenapa umat Isam merasa diteror. Bayangkan! Berpenampilan baik, dicurigai; berpengetahuan Isam dengan baik, dicurigai; aktif di Masjid, juga dicurigai; Masjid dan Pesantren yang punya andil terbesar dalam perjuangan melawanan penjajah, sudah pula dicurigai; kegiatan kerohanian di sekolah dan kampus juga dicurigai. Apa lagi yang tersisa? Mungkin tinggal beribadah haji ke Baitullah yang belum. Entahlah beberapa hari ke depan. Mungkin akan dicurigai juga  sebagaimana yang dilakukan penjajah Belanda.

Syukur, Boy Rafli dapat membaca denyut jantung umat Islam. Sebagai badan yang bertanggungjawab penuh soal rasikalisme-terorisme, BNPTsudah sepatutnya mengontrol sepenuhnya isu radikalisme dan terorisme sehingga tidak liar dan justeru berpotensi memecah kesatuan bangsa.

Namun demikian, ada tersisa pertanyaan mendasar :  Apakah terterornya umat islam dalam hal penanganan radikalisme-terorisme semata-mata karena pilihan diksi dan peristilahan yang kurang tepat ? Atau, tidakkah diksi dan peristilahan yang dipakai selama ini memang  begitulah adanya, keluar dari hati sebagai cerminan semangat Islamofobia? Pertanyaan ke dua ini muncul mengingat semua pejabat yang berbicara radikalisme dan terorisme menggunakan diksi dan peristilahan yang lebih kurang sama. Artinya, sulit membayangkan sejumlah pejabat tinggi negara melakukan kesalahan diksi secara bersamaan dalam satu hal.

Jika pertanyaan ke dua jawabannya “Ya”, maka penggantian diksi dan peristilahan tidak akan mengubah situasi kecuali meninabobokkan sementara umat Islam. Perubahan diksi dan peristilahan tak lebih sekedar obat penenang, tidak menyelesaikan masalah.