Setelah Madrasah, Masjid dan Pesantren, Apa Lagi?

*Oleh Dr. Masri Sitanggang*

 

_Umat Islam Indonesia memang merasa terteror selama pelaksanaan program penanggulangan radikalisme-terorisme.  Sekadar kesalahan diksi dan peristilahankah, atau ada semangat islamofobia ? Aparat  selayaknya memahami Pancasila dan ajaran Isam yang benar._

Permintaan maaf Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, terkait pernyataannya 198 pesantren terafiliasi dengan terorisme, kepada Pengurus MUI  Pusat Kamis (03/02/2022), sedikit melegakan hati Umat Islam.  Apalagi, Boy Rafli kemudian berjanji bahwa BNPT tidak akan sungkan-sungkan mengubah peristilahan dan diksi yang dianggap kurang tepat dan dapat menimbulkan kesan stigma negatif kepada Islam dan umat Islam. Termasuk ketika membuat kriteria dan indikator kelompok teroris.

Umat islam memang merasa terteror oleh kegiatan pelaksanaan penanggulangan radikalisme-terorisme selama ini. Mereka merasa sedang dipojokkan, bahkan dijadikan target. Lumrah, karena sepanjang yang berkaitan dengan penyebaran paham radikal dan penangkapan terduga teroris, semuanya dihubungkan dengan orang Islam dan simbol-simbol Islam.  Framing berita sedemikian rupa sehingga tercipta kesan bahwa Islam dan umat Islam demikian jahat terhadap negara ini. Yang disasar bukan saja mereka yang diduga telah dan/atau akan melakukan aksi teror, melainkan juga yang berpakaian cingkrang, bercadar dan yang berjenggot. Malah, telah pula merambah ke wilayah pemikiran dan keyakinan agama yang disebut sebagai “radikal dan dapat mengarah pada tindakan terorisme”.

Stigmatisasi Islam radikal sudah terasa sejak periode pertama Jokowi berkuasa. Berdasarkan apa yang disebut “survey”, disiarkan bahwa paham radikal telah merambah ke sekolah-sekolah dan kampus melalui pengajian dan Studi Islam Intensif yang dilakukan OSIS atau Lembaga Dakwah Kampus. Tak pelak, program menghafal Alquran yang dilaksanakan oleh OSIS, pun dhubungkan dengan radikalisme di sekolah (Ade Chariri, mengutip Ma’arif Intitute, 2018). Buku ajar Islam, termasuk di Madrasah Aliyah, juga tak lepas menjadi sorotan. Padahal, konten buku itu bukanlah hal yang baru. Entahlah, apakah survey-survey itu bagian dari kegiatan akademik atau dirancang untuk kepentingan tertentu. Yang pasti, jika ditilik dari laporan survey-survey (setidaknya yang terekspose) tersebut, objek survey hanya siswa Islam dan kegiatan keislaman.