Menimbang pada tengah memburuknya pandemi Covid-19, narasi penolakan deklarasi KAMI memang dapat dibenarkan karena telah memicu kerumunan massa. Kendati tidak menyebutkan secara spesifik, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga menyinggung adanya gerakan politis pengumpul massa dengan menyebutnya sebagai birahi kekuasaan.
Akan tetapi, apabila kita membandingkan dengan konteks serupa, yakni dilanjutkannya Pilkada 2020 yang telah terbukti menghimpun kerumunan massa, mengapa terjadi semacam “standar ganda” terhadap gerakan KAMI? Mungkinkah terdapat agenda politik tertentu di baliknya?
Taktik Red Herring
Pada tahun 1807, jurnalis Inggris bernama William Cobbett menulis cerita tentang bagaimana Ia menggunakan ikan haring merah (red herring) untuk mengalihkan perhatian anjing dari mengejar kelinci. Cobbett menggunakan anekdot ini untuk mengkritik beberapa rekan jurnalisnya yang saat itu terlena dalam memberitakan informasi palsu tentang kekalahan Napoleon Bonaparte, sehingga terlalihkan untuk memberitakan urusan domestik yang dinilai jauh lebih penting.
Istilah red herring kemudian diadopsi sebagai salah satu kekeliruan logis, di mana dalam suatu diskursus, informasi baru yang tidak relevan sengaja dilempar agar topik utama menjadi teralihkan. Dalam praktiknya, red herring digunakan sebagai “strategi pengelak” karena tengah terpojok ataupun argumentasi yang dikeluarkan tidak terlalu kuat.
Dewasa ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kerap disorot karena kerap menggunakan taktik red herring ketika dihadapkan pada isu-isu penting. Salah satu red herring Trump yang paling diingat publik terjadi pada 17 September 2015 lalu.
Saat itu, politisi Partai Republik ini mendapat pertanyaan dari seorang sukarelawan dari League of Conservation Voters bernama Megan Andrade terkait rencanannya untuk mengurangi polusi yang mendorong perubahan iklim dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Trump justru mengajukan pertanyaan dengan mempertanyakan berapa banyak orang yang hadir di forum tersebut yang percaya pada pemanasan global? Pada akhirnya, Trump tidak menjawab pertanyaan Andrade karena sibuk menanyakan kepercayaan orang lain terhadap pemanasan global.
Di Indonesia, pengamat politik Rocky Gerung juga pernah mempraktikkan taktik tersebut. Bagi para penikmat Indonesia Lawyers Club (ILC) tentu mengikuti panasnya perdebatan ketika Rocky menyebut “Kitab Suci itu Fiksi”.
Menariknya, ketika terlihat terdesak karena pernyataannya, mantan dosen ilmu filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut kemudian mengeluarkan pernyataan baru dengan menyebut Presiden Jokowi tidak cocok naik sepeda motor chopper.
Peserta ILC lainnya kemudian terpancing dan beralih untuk menyerang pernyataan Rocky yang baru. Di sini, Rocky jelas telah mempraktikkan red herring ketika mengeluarkan pernyataan “chopper Jokowi”.