Lebih dari sepekan Holocoust Gaza. Dalam hari-hari itu hanya rakyat Palestina yang menanggung derita. Terpaksa menggigit kepiluan sendiri di tengah milyaran manusia yang berjejalan ingin sekadar menonton tragedi, bukan untuk berusaha menyumbangkan kontribusi penyelamatan. Di Gaza sudah lebih dari 400 orang jiwa hilang, 2000 orang menderita luka-luka, ratusan apartemen lebur ke bumi, dan 75 bayi terbunuh.
Pembekakan korban materi dan jiwa seperti itu barangkali lumrah dalam sebuah parade perang yang tidak seimbang. Dimana Israel yang memakai seluruh stok mesin tempur mutakhir menantang dan mengajak berkelahi rakyat Palestina yang tidak bersenjata, yang telah kelaparan berbulan-bulan karena blokade, yang lemah fisik tapi yang tetap sanggup memperkokoh bangunan spritual dan mentalnya. Tidak menjadi bangsa bermental kerdil. Bangsa yang takut mati. Bangsa yang selalu ingin lari dari masalah.
Holocoust Gaza, bukan cuma berbicara soal korban dalam tataran kuantifikatif yang mungkin masih relatif kecil berbanding angka korban jiwa pada tragedi dahsyat di Baghdad tahun 1285 M silam. Ketika Tentara Tartar Mongolia yang dipimpin Panglima Holako menyembelih 1,8 juta rakyat muslim di Kota Baghdad dalam hitungan hari. Namun sesungguhnya Holocoust ini bercerita konteks yang lain, jauh lebih penting dari angka-angka kematian itu, yaitu menyangkut kecerobohan bangsa Arab untuk ke sekian kalinya dalam penyelesaian krisis Palestina. Inilah hakikat bencana itu.
Ada satu hal yang menjadi ruas dan sumber permasalahan, dan —sekali lagi— memperkuat karakter mental kerdil petinggi Arab yang takut mati dan senantiasa hendak lari dari problema Palestina. Berangkat dari isi rekomendasi yang diolah dalam tiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab yang digelar maraton oleh Sekjen Amru Musa lima hari ini, atau paska serangan Israel ke Gazza, Sabtu (27/12) lalu. Menlu Arab Saudi, Saud Al-Faisal, Rabu (31/12) bersama Amru Musa membacakan isi rekomendasi KTT di pertemuan pers. Isi rekomendasi itu, antara lain: —ini yang kita soroti— Liga Arab meminta DK PBB turun tangan menyelesaikan Tragedi Holocoust Gazza.
Dosa PBB dan Krisis Palestina
Mengapa tidak belajar dari masa lalu. Bukankah pengalaman adalah guru yang paling baik. Dan, orang yang terperosok dua kali, bahkan berkali-kali pada lobang yang sama mengidentifikasi satu sifat dungu yang benar-benar mengakar menjadi karakter. Tentang kebijakan PBB, bukankah itu cerita yang membosankan. Mengharap kebijakan kepada lembaga yang tidak pernah berpihak kepada umat Islam dari dulu sampai sekarang.
PBB punya dosa tak terampunkan pada rakyat Palestina. Usai Otto Wolffshon (1871-1937), Pemimpin Zionis ke-3 yang sukses menggelar Perjanjian Balfour tahun 1917 antara Inggris dan Bangsa Yahudi. Dimana Inggris menjanjikan tanah Palestina sebagai tanah air bangsa diaspora itu kelak di kemudian hari. Pada Perjanjian Biltmore 04 Mei 1942 antara Amerika Serikat (AS) dan Bangsa Yahudi, AS berjanji membantu Yahudi untuk merampas tanah Palestina. Tahun 1947, Inggris, AS, dan Rusia menaikkan masalah Palestina ke PBB. Dan, PBB kemudian mengeluarkan resolusi No.181, 29 Nopember 1947 yang menetapkan pembagian wilayah Palestina menjadi tiga bagian: 54% untuk Yahudi, 45% untuk Arab, dan 1% untuk wilayah internasional. Sore hari tanggal 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, Pemimpin Zionis, mendeklarasikan negara ilegal Israel di bumi milik rakyat Palestina.
Jika hendak memahami akar krisis di Palestina, berarti harus mau mencermati bahwa PBB-lah sumber masalah berpangkal. Inggris, AS, dan Rusia yang menggagahi kesucian Palestina, yang melegitimasi bangsa tak bertanah air Yahudi untuk membentuk sebuah institusi negara di bumi sah rakyat Palestina. Mereka hingga kini masih bercokol di PBB dengan memegang hak veto. Hak untuk bertindak arbitrer. Lalu Liga Arab, kini datang menghamba diri menghiba untuk kesekian kalinya agar PBB menyelesaikan kasus Gaza secara bijak. Kebijakan macam apa yang bisa PBB berikan kepada umat Islam, selain hanya darah dan air mata.
"Mahmoud Abbas, kami persilahkan pergi ke DK PBB. Kami Bangsa Arab berada di belakangmu", tegas Sekjen Liga Arab, Amru Musa, (31/12) di channel Televisi Aljazeera-Qatar. Instruksi pemimpin penakut. Tepat seperti lontaran statemen Sami Abu Zuhri, jubir HAMAS di Gaza yang merespon rekomendasi Liga Arab itu sebagai keputusan "kerdil". Tidakkah akan sangat bijak, andaikata Amru Musa berkata: "Abbas, HAMAS, dan rakyat Palestina, teruskan perlawanan menghadapi imperalis Israel. Jangan pedulikan PBB. Kami akan membantu kalian dengan harta, darah, dan jiwa. Penjajah Israel harus keluar dari Palestina dan segera mengembalikan tanah sah milik umat Islam"!
Pemutihan Krisis
60 tahun semenjak Zionis-Yahudi mendeklarasikan institusi imperalis Israel, akar krisis Palestina berlahan memutih menuju kekaburan. Persoalan Palestina mulai diarahkan pada problem parsial. Ingat, ketika Jimmy Carter, mantan Presiden AS, menulis buku berjudul: Palestine: peace not aparteid. Carter mengajukan tiga alternatif penyelesaian konflik di Palestina, salah satunya: perlu dibangun tembok ras yang memisahkan dua prototype bangsa yang berlawanan, yaitu Arab dan Yahudi. Agar kedua bangsa itu hidup bebas mengembangkan peradaban masing-masing.
Carter lupa atau barangkali mencoba melupakan, bahwa sikapnya yang mendudukkan rakyat Palestina sejajar dengan Penjajah Yahudi merupakan kekeliruan besar. Akan riskan rasanya, apabila hak pemilik tanah disamakan dengan pihak yang sama sekali tidak punya hak terhadap kepemilikan tanah itu. Apalagi yang tidak berhak itu lalu merampas menggunakan kekerasan, pembunuhan, dan pemutihan eksistensi. Carter juga khilaf, bahwa bangsa Yahudi telah merencanakan proyek besar pendirian negara "Israel Raya" yang membentang dari Sungai Nil di Mesir sampai ke Sungai Eufrat di Irak.
Terkait kasus Holocoust Gaza, merupakan strategi Israel yang berupaya memutihkan substansi krisis Palestina. Ehud Olmert, Perdana Menteri Israel, saat diserbu wartawan dengan pertanyaan yang serupa, mengapa Israel menyerang Gaza? Olmert beralibi: "Karena HAMAS tidak henti-hentinya meluncurkan roket jenis grad ke wilayah Israel, kami berniat mengamankan wilayah selatan demi stabilitas keamanan nasional". Bahkan, Bernard Kouchner, Menlu Perancis memelas kepada Israel agar bersedia melakukan gencatan senjata di hari kelima, tapi Israel menolak. Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, menegaskan selama HAMAS mau komitmen menghentikan serangan roket ke Israel, maka tawaran itu diterima. Kini Liga Arab tiba-tiba muncul meminta DK PBB menekan Israel untuk mau berhenti menyerang!
Kasus Palestina bukan semungil Holocoust Gaza. Gazza hanyalah "kasus parsial" yang digelindingkan Israel agar umat Islam dan dunia internasional melupakan substansi krisis yang terjadi. 90% wilayah Palestina yang telah dirampas Kolonialis Israel, itulah substansinya. Bukan soal perlawanan mati-matian HAMAS, JIHAD ISLAM, dan faksi-faksi rakyat Palestina yang berjuang demi merebut kembali tanah air mereka yang kini digagahi penjajah Israel. Karena sebagaimana dulu Bangsa Indonesia bersimbahdarah merebut pertiwi tercinta dari cengkeraman Belanda, maka begitulah patriotisme yang kini bergelora di dada-dada pejuang Palestina. Dan, karena tanah Palestina adalah tanah milik umat Islam, maka tanggungjawab merebut kembali tanah suci itu menjadi kewajiban kolektif kaum muslimin seluruh dunia. []
—
Profil Penulis
Taryudi, Kelahiran Purbalingga, 09 Maret 1985. Telah menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Al-Azhar Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir dan Ilmu Alquran pada Agustus 2008. Saat ini tengah merampungkan pendidikan magisternya pada civitas yang sama. Alamat District Nasr City, Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS KEHIDUPAN di lembaga Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir. No. kontak : +20163932877/ +2024718593 Email : [email protected]