Munculnya ide kalkulatif tentang jumlah kursi di kabinet yang harus didapat peserta kolisi Jokowi-Ma’ruf, imbauan demi imbauan agar Jokowi segera bertemu Prabowo, keduanya segera rekonsailiasi, dan dan pembicaraan sengketa ini berakhir dengan kemenangan mengagumkan, serta lainnya yang sejenis adalah tampilan praktis perspektif di atas.Tidak lebih.
Tetapi seberapa signifikan cuaca dan tensi politik yang terbentuk di luar sidang muncul menjadi faktor determinan lahirnya putusan, harus ditimbang, sekecil apapun. Memang tidak bisa disajikan secara apa adanya, tetapi mengabaikannya menjadi hal menggelikan. Baagaimanapun baju hukum yang namanya “independensi” tidak bakal bisa berubah menjadi besi. Baju itu tetap baju politik, yang diberi sifat hukum.
Tetapi justru itulah menariknya. Memang bila sejarah sengketa pilpres di MK dipanggil bicara pada kesempatan pertama, maka yang dibicarakan dalam sidang ini akan sama dengan yang sudah-sudah. Sidang hanya akan memeriksa hal-hal tentang angka-angka perolehan suara. Ini yang suka atau tidak menjadi jantung pemeriksaan, dan perdebatan berkelas dalam ruang sidang. Tidak lebih. Itu saja.
Tidak mungkin, siapapun yang mengoreksi angka-angka yang diperolehnya tidak mendalilkan, tentu dengan serangkaian argumen angka-angka yang diperolehanya seharusnya tidak begitu, tetapi begini. Angka yang kami peroleh di daerah ini jadi hanya segini, karena di TPS ini dan ini, termasuk mungkin PPK ini dan PPK itu melanggar aturan ini dan itu. Pasti itu. Bisa saja jumlah suara di TPS yang telah dihitung tidak sama dengan jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar hadir, dan daftar hadir tidak sama dengan DPT. Bagaimana bila daftar hadirnya tidak dapat diajukan dalam sidang, termasuk DPT? Bila ini yang terjadi maka harus diperiksa apa yang menjadi sebab daftar hadir tidak ada, begitu juga DPT? Itu sekadar gambaran hipotetik.
Bilapun sidang nanti terkerangka dalam debat konservatif tipikal –teks- pasal 457 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, tetap saja menantang. Mengapa? Bagaimana logikanya debat selisih perolehan angka tidak didasarkan pada “tata cara” yang merupakan terminologi ayat (5) pasal 6A UUD 1945? Tidak ada seorangpun yang bicara secara logis tentang selisih perolehan angka tanpa menghubungkan dengan “tata cara” lahirnya angka itu. Di titik itu relefan megajukan pertanyaan kemana MK pergi menemui akhir kasus ini? Pergi sejauh dan terbatas pada “tata cara” memperoleh angka?
Bila ya, maka MK mesti cerdas dan memadatkan argumen menjelaskan apakah semua tahapan pemilu tidak memiliki sifat dan kapasitas konstitusional sebagai “tata cara atau persedor atau mekanisme”?
Bila MK berpendirian tahapan lain dalam pemilu bukan atau tidak memiliki sifat dan kapasitas konstitusional sebagai “tata cara” lalu mau disebut apa “norma tata cara” dalam pasal 6A ayat (5) UUD 1945? Apakah MK hendak mengatakan norma tata cara dalam pasal 6A ayat (5) hanya berlaku untuk penghitungan suara, dan tidak berlaku untuk tahapan lain, sebelumnya dalam semua aspek?
Konsistensi MK memahami dan mengoperasikan norma “tata cara” dalam ayat (5) pasal 6A UUD 1945 menjadi krusial. Bila MK berpendirian “tata cara” berlaku untuk semua tahapan, maka sah MK pergi memasuki konstitusionalitas DPT dan lainnya yang didalilkan pemohon.
Pergilah Ke MetaTeks
Di sanalah di meta teks jiwa hukum, jiwa bangsa menanti kedatanganmu untuk diambil, membawanya pergi untuk menyiram, memupuk, menghidupkan dan mengemudikan bangsa dan negara, perikemanusiaan dan perikeadilan. Kejujuran dan perikeadilan dalam pemilu tak bisa disangkal, sehebat apapun argumen yang digunakan sebagai meta teks dari norma “tata cara” pada ayat (5) pasal 6A UUD 1945.