by M Rizal Fadillah
Awalnya kepercayaan rakyat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sangatlah rendah, terutama setelah muncul Putusan No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka putera Jokowi menjadi Cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Putusan MKMK memukul MK yang dipimpin oleh Anwar Usman pamanda dari Gibran bin Jokowi.
Kepercayaan sedikit demi sedikit pulih setelah Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK dan gugatan PTUN Usman kandas, bahkan bertambah semprotan MKMK atas pelanggaran etik Anwar Usman. Suhartoyo Ketua baru bertekad untuk mengubah “distrust” rakyat pada MK menjadi sebaliknya. Rakyat mulai menaruh harapan dan percaya pada MK.
Kepercayaan timbul pula ketika Hakim MK baik atas Gugatan Anies maupun Ganjar memeriksa proses Pilpres baik atas dugaan penyimpangan dana bansos, penggunaan sistem IT Sirekap, maupun pelolosan Gibran oleh KPU. Pemanggilan 4 Menteri dan DKPP menjadi menarik. MK seperti siap “keluar” dari sekedar hitung hitung angka perolehan. Mencoba masuk ke ruang pemeriksaan “jujur” dan “adil”.
Dari pemeriksaan proses ini, Majelis Hakim MK semestinya akan cukup mendapat bukti atas kekacauan proses Pilpres yang berpengaruh kepada hasil yang dipresentasi oleh angka-angka. Perhitungan akhir justru menjadi bukti terjadinya kecurangan dan kejahatan Pilpres yang dilakukan oleh KPU bekerjasama dengan Paslon 02, cawe-cawe Presiden dan pembiaran pihak Bawaslu.
Jika konsisten Hakim MK yang telah memeriksa proses, bukan hanya angka, yang berarti bersikap memadukan hukum dan keadilan, maka selayaknya pasangan Prabowo Gibran itu didiskualifikasi.
Pilpres diulang untuk hanya dua pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Fairness secara “Law and Justice”.
Fenomena baru telah memperkuat Putusan didiskualifikasi Prabowo Gibran. Banjir “Amicus Curiae” harus menjadi pertimbangan Hakim untuk membaca “nilai-nilai hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat”. Hakim wajib mempertimbangkan hal ini.
Pasal 5 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan ” Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat”. Sahabat Pengadilan atau “Amicus Curiae” adalah pandangan pihak ketiga tentang kejelasan dan keadilan yang dirasakan dan hidup di masyarakat tersebut.
Lebih dari 30 “Amicus Curiae” diajukan. Ini luar biasa untuk kasus MK. Hakim tidak dapat mengabaikan pendapat masyarakat ini. Dahulu hanya negara penganut faham “Common Law” yang memberi tempat pada “Amicus Curiae” akan tetapi kini juga diterima untuk faham “Eropa Kontinental”.
Sahabat Pengadilan yang sudah ada sejak zaman Romawi dahulu ini dinilai sangat konstruktif. Apalagi sudah sejak lama kita sudah tidak lagi menganut faham “legisme” dimana Hakim hanya berfungsi sebagai “terompet undang-undang”.
Di Indonesia sendiri sejak tahun 2009 hingga 2018 telah diterima dalam berbagai kasus pidana tercatat “Amicus Curiae” sebanyak 23 kelompok dan kasus. Karenanya budaya hukum yang kini mulai merambah ke Mahkamah Konstitusi patut untuk disambut gembira dan dipertimbangkan serius oleh Hakim MK sebagai masukan “rasa keadilan” masyarakar tersebut.
Jika Majelis Hakim MK memutus diskualifikasi pasangan Prabowo Gibran, maka MK yang diketuai Suhartoyo akan menjadi pembuat sejarah bahwa Hakim MK telah berani dan konsisten mengambil Putusan dengan berbasis pada “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sebaliknya jika Hakim MK tidak peduli pada nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka MK telah menjadi lembaga pengkhianat keadilan, pengkhianat demokrasi dan pengkhianat konstitusi.
MK yang diketuai Suhartoyo ternyata sama saja dengan Anwar Usman. Bermental pecundang bukan pemenang.
Ingat skandal Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang telah diputuskan berlandaskan “Demi Keadilan Berdasarkan Keusmanan Yang Maha Kuasa”.
Semoga MK bertaubat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 21 April 2024 .