Oleh: Tony Rosyid – Pengamat politik dan pemerhati bangsa
BERTEMU dengan seorang jenderal yang saat ini pentolan timses pasangan capres-cawapres, teman saya nanya: “Apa yang membuat Anda yakin bahwa Anda akan menang satu putaran?” Dia jawab: “begini kalkulasinya: capres kami punya 20%. Bapak itu nyumbang ke kita 20%. Blocking dari keturunan PKI 7%. Sisanya agar mencapai lebih 51% adalah tugas pelaksana pemilu untuk menambahkan.
“Keturunan PKI?” Teman saya heran. Bukannya dia seorang jenderal yang secara umum anti PKI. Kenapa demi kepentingan politik, dia bangga dengan dukungan PKI.
“Penyelenggara pemilu?” Bukannya penyelenggara pemilu alias KPU harusnya netral. Mereka digaji rakyat untuk menjaga pemilu jujur? Pemilu jujur akan terjadi jika KPU netral. KPU tidak ikut “cawe-cawe” urusan politik. Kenapa KPU ditarik-tarik ikut berpolitik.
Apa yang diungkapkan oleh Muhaimin Iskandar di acara ulang tahun Mata Najwa beberapa waktu lalu bahwa para pemain bukan pihak yang membuat masalah, itu keliru. Buktinya, ada timses yang begitu siap dalam merencanakan kecurangan. Bentuknya? Libatkan KPU dalam permainan. Tidak mungkin skenario ini tidak diketahui oleh jagoannya.
Oknum KPU, wasit, hakim garis dan aparat, tidak akan ikut main kalau tidak diajak oleh kontestan pilpres. Mereka nggak akan ikutan kalau nggak dibujuk dan dilibatkan. Sebagian malah diintimidasi.
“Nggak ikut dukung, copot jabatan”. “Nggak ikut dukung, dikasuskan”. Dengan terpaksa, mereka ikut bermain. Ini yang bisa membuat para penonton marah, lalu turun ke lapangan untuk bikin keributan. Apa pemicunya? Para pemain yang melibatkan dan mengintimidasi oknum KPU dan aparat untuk ikut mendukungnya.
Perusakan baliho paslon lain, pemasangan baliho oleh aparatur negara, rekayasa DPT (Daftar Pemilih Tetap), koneksitas IT KPU-Bawaslu dengan pihak tertentu, kalau semua ini terbukti, maka ini layak dituduh sebagai bagian dari desain kecurangan yang sudah dimulai.
Apakah kita akan mengucapkan “Selamat Datang Kecurangan?” Kalau begini sikap kita: maka kita akan membiarkan kecurangan ini menjadi referensi bagi setiap pemilu yang akan datang.
Kita akan membiarkan kecurangan ini menjadi warisan politik yang akan diikuti generasi masa depan. Dari sini, bangsa akan kehilangan kejujurannya. Kecurangan akan menjadi tradisi yang terus menerus dipertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apa jadinya negara ini di masa depan?
Lawan! Siapa yang harus melawan? Seluruh rakyat Indonesia. Demi dan atas nama nangsa, semua harus bersatu hadapi proses kecurangan pilpres yang sudah dimulai. Bagaimana caranya?