Sekelumit Aksesoris Religiusitas Politisi di Ramadhan

Ada pula ngibul menteri yang wajahnya terpampang di perusahaan-perusahaan di bawah Kementerian BUMN, khususnya yang langsung konek dengan rakyat. Maka di mana mata memandang, tampak wajah sang menteri nongol. Erick Thohir nama menterinya. Di ATM Bank pemerintah, di bandara, di pelabuhan, di stasiun kereta.

Pada Ramadhan kali ini sang menteri mengenalkan wajahnya dengan tidak sungkan-sungkan. Wajah sang menteri tampil pada bungkus sembako, yang sepertinya untuk dibagikan pada rakyat. Ada beras dan lainnya. Tampak wajah sang menteri sambil senyum simpul. Tak ketinggalan logo BUMN disematkan di sana, cukup kecil saja tidak menonjol dibanding wajah sang menteri. Pastilah itu memakai anggaran BUMN untuk menampilkan wajahnya. Kampanye dengan menumpang kementerian yang dipimpinnya.

Masih banyak lagi ngibul-ngibul yang dimainkan para pembantu presiden dengan corak varian yang dipilihnya. Presiden Jokowi sendiri sepertinya membiarkan saja, bahkan tampak menikmati. Terkadang meng-endorse menteri yang satu, tapi pada momen lain endorse itu diberikan pada menteri lainnya. Para menteri itu diberi ngibul model Jokowi, yang seperti dibuat tidak menentu, isuk dele sore tempe.

Ngibul di atas itu boleh disebut Ngibul Aksesoris Religius. Ngibul artifisial. Disamping itu ada pula ngibul model lainnya, yang daya jangkaunya dijamin luas. Tidak cukup ngibul dicukupkan untuk konsumsi dalam negeri, tapi bisa sampai mancanegara. Media sosial dipakai jadi alatnya. Twitter diantaranya jadi alat komunikasi untuk saling menyapa, dan tentu bisa sebagai alat ngibul yang punya daya jangkau luas.

Adalah Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, yang juga digadang-gadang akan nyapres, sangat aktif bermain media sosial, utamanya Twitter. Namun hari-hari ini, Ganjar jadi bahan perbincangan, lebih tepat olok-olok. Itu karena salah satu twitnya di Ramadhan ini, dijamin ngibul 100 persen. Tentu hal tidak mengenakkannya.

Sebenarnya yang disampaikan Ganjar, itu hal sederhana. Ganjar berkisah bahwa saat mahasiswa dulu, ia punya kenangan pada Masjid UGM. Ia acap berbuka puasa mencari takjil di masjid itu. Jika mencermati apa yang dikisahkannya, itu sebenarnya bukanlah hal sesuatu, hal biasa saja. Tapi menjadi luar biasa, karena Ganjar tidak cermat memakai obyek ngibul pada tempat di mana ia biasa takjil. Masjid UGM yang dikisahkan itu belum ada  pada saat Ganjar kuliah, bahkan sampai ia lulus di tahun 1995. Itu kesaksian Refly Harun, pakar Hukum Tata Negara.

Refly membaca twitan Ganjar itu terkekeh. Refly dua tingkat di bawah Ganjar, saat sama-sama kuliah di Fakultas Hukum UGM. Ganjar angkatan 87, dan Refly angkatan 89. Tapi keduanya lulus pada tahun yang sama, 95. Kesaksian Refly itu disampaikan di kanal YouTube nya.

Ngibul Ganjar itu bukan pada persoalan takjilnya, tapi pada Masjid UGM yang ia kisahkan penuh kenangan, utamanya pada bulan Ramadhan. Padahal kata Refly, sampai ia lulus tahun 95, lokasi masjid yang disebut Ganjar itu masih berupa tanah kuburàn. Tepatnya, kuburan Cina, yang memang berdekatan dengan Fakultas Hukum. Baru beberapa tahun kemudian Masjid UGM itu berdiri di tanah itu.

Ngibul Ganjar ini seperti tanpa dipikir. Ia ingin menampakkan diri, bahwa sejak mahasiswa pun ia sudah religius. Soboh masjid. Maka dibuatlah kisah kenangan takjil di Masjid UGM. Namun berujung jadi bahan ketawaan yang menyakitkan. Ngibul Ganjar itu pastilah diniatkan menaikkan citra religiusitasnya, justru menemui kegagalan.

Sebenarnya kisah yang dibangun Ganjar, bahwa ia memang sholeh sejak dulu kala, momennya sudah tepat. Tapi ya itu tadi, masjid yang disebutnya itu belum berdiri, masih berupa tanah pekuburan. Ngibul pun tetap dituntut cermat. Ngibul yang dikisahkan dan sekaligus diperankan Ganjar itu menemui kegagalan, bahkan gagal total. Maksud hati berkisah tentang kebaikan diri, tapi hasil yang didapat justru berujung olok-olok menyakitkan.

Oleh: Ady Amar
*Penulis adalah seorang kolumnis

(RMOL)

Beri Komentar