Eramuslim.com – SIAPA saja boleh berkisah apa saja akan peristiwa masa lalunya, sekalipun yang dikisahkan bukan kisah sebenarnya alias ngibul. Itu tidaklah masalah. Banyak kisah ngibul yang dimaksudkan untuk menghibur seseorang yang mendengarnya, atau bahkan mampu menginspirasi. Bisa diri sendiri sebagai objek untuk dikisahkan, meski itu sekadar kisah ngibul, atau mengisahkan orang lain tapi tetap dengan teknik ngibul.
Ngibul pun punya takarannya. Tidak asal ngibul yang sulit di nalar. Atau ngibul pada satu peristiwa yang objeknya tidak ada. Jadi ngibul pun masih tetap dituntut rasional. Karenanya, ngibul menjadi tidak gampang terbaca, meski itu sebenarnya ngibul. Atau dalam makna lain, ngibul pun mesti terukur meski ngibul pada hal tidak serius, sekadar dimaksudkan untuk menghibur. Itu agar nilai surprise-nya bisa didapat.
Ngibul pun tidak memilih tempat dan waktu. Bisa dilakukan kapan saja sesukanya. Terpenting masih tetap bisa dinalar, terukur, dan tidak menipu atau ada pihak lain yang dirugikan karena ngibulnya. Ramadhan memang bulan suci, tapi pada sebagian orang, kebiasaan ngibul tetap jalan. Puasa ya puasa, tapi ngibul jalan terus. Lalu, bolehkah ngibul di Ramadhan, meski hanya diniatkan untuk menghibur? Jawabannya bisa debatable.
Ngibul pun bisa dilakukan dengan model tidak biasa. Tidak dengan kisah, tapi dengan penampilan personal yang tidak seperti biasanya. Ngibul model begini seperti orang latah saja, muncul hanya saat Ramadhan. Lebih-lebih lagi karena tengah memasuki tahun politik, pesta lima tahunan. Maka ngibul lebih ditampakkan, utamanya oleh seorang pejabat yang ingin nyaleg, nyagub, atau bahkan nyapres.
Maka, ngibul dengan aksesoris penampilan jadi pilihan, agar bisa tampak lebih religius. Hari-harinya tidak lepas bertengger di kepala songkok hitam, dan baju koko. Sholat pun dipastikan lima waktu di masjid, dan biasanya safari antarmasjid. Mendatangi kiai atau pemuka agama (Islam) jadi rutinitas sehari-hari. Atau mengundang kiai/ustadz tidak saja di rumahnya, bahkan kantor pun jadi tempat untuk menerima tamu. Semua itu bisa disebut sebagai ngibul aksesoris. Pansos agar disebut religius.
Bagus kalau ngibulnya itu jadi keterusan, jadi kebiasaan rutinitasnya, meski pesta lima tahunan sudah berlalu. Baik terpilih atau tidak terpilih pada jabatan yang diinginkan, tetap saja aktivitas keagamaannya jalan terus. Maka, ia sudah tidak bisa lagi disebut ngibul. Ia menjelma benar-benar menjadi pribadi muttaqien. Meraih “hidayah”, meski pada awalnya ia sekadar ngibul. Memang tidak banyak yang seperti itu, jika dibanding yang memilih kembali pada watak aslinya, baik terpilih atau apalagi tidak terpilih pada hasrat yang diinginkan. Yang sedikit ini tentu manusia istimewa, karena telah dipilih diselamatkan-Nya.
Pada Kabinet Indonesia Maju, periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Yai Ma’ruf Amin, ngibul jadi makin semarak. Tampak pada lagak menteri yang ngebet dengan syahwat membuncah berlomba ingin menjadi pengganti Jokowi. Sekitar 3 hingga 4 orang menteri yang berharap bisa terpilih. Maka, gaya ngibul para menteri itu dengan bermacam varian, disesuaikan kementeriannya. Memang belum tentu mereka semua itu bisa terpilih nyapres, meski sudah nombok nominal uang tidak sedikit.
Ada gaya ngibul yang dengan menunduk-nunduk, dan tak ketinggalan memuji-muji Jokowi sebagai presiden hebat, Prabowo Subianto salah satu yang bernafsu maju lagi nyapres seolah tak kenal lelah, janji akan meneruskan pembangunan yang telah dicapai Jokowi. Janji itu tentu jika hajatnya menggantikan Jokowi terpenuhi. Bisa saja dipenuhi seluruh janjinya, atau hanya sebagian, atau bahkan sama sekali tidak dipenuhinya. Wong namanya juga ngibul pada awalnya, bukan pada akhirnya.