Sedikit-Sedikit Radikal!

Hari-hari ini kita mundur jauh ke belakang, bahkan dari zaman Orde Baru yang otoriter itu, justru kembali mempertentangkan Pancasila dan agama lalu sedikit-sedikit menuduh radikal. Sedikit-sedikit, radikal.

Agama adalah ranah yang sensitif, pada batas tertentu mempertentangkannya dengan ideologi lain akan sampai ke ulu hati dan tak termaafkan lagi.

Pembelaan berlebihan yang ditunjukkan sebagian kelompok kepada Pancasila, apalagi disertai kecurigaan berlebihan pada umat Islam, justru bias islamofobia dan berbahaya untuk persatuan bangsa ini kedepan.

Sejarah sudah menunjukkan kepada kita bagaimana para pendahulu kita sepakat untuk bertemu di tengah. Sikap itu yang semestinya kita contoh.

Jika Islam, jangan merasa yang paling Islam. Jika mendukung Pancasila, jangan merasa yang paling Pancasilais. Bergandeng tanganlah sebagai sesama saudara, tanpa kebencian dan kecurigaan-kecurigaan berlebihan.

Kita bisa mereka ulang pernyataan keras Kiai As’ad kepada Presiden Soeharto, “Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama terus membuang Islam dan lain-lain? Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini.”

Mendengar pernyataan itu Presiden Soeharto terdiam. Ia menggeleng dan menegaskan bahwa tidak hendak menempatkan Pancasila sebagai agama. Bahkan agamanya sendiri adalah Islam, ia tak mau menempatkan Pancasila sebagai agama. Ada ruang dan ekspresinya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apakah hari-hari ini kita tak lagi membaca sejarah? Apakah kita tak menghargai pemikiran para pendiri dan pendahulu bangsa ini yang sungguh-sungguh mencintai dan ingin mempersatukan bangsa ini? Mengapa hari ini yang membela Pancasila merasa paling Pancasilais, mengolok-olok yang berbeda. Begitu pula sebaliknya.

Kasus Gerakan Anti Radikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR-ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN atas tuduhan radikalisme adalah yang paling memalukan.

Pertama, karena tuduhan itu salah sasaran dan tak berdasar. Kedua, karena ia menunjukkan sikap arogan tertentu dengan merasa memiliki tafsir yang paling benar terhadap Pancasila dan kehidupan bernegara.

Boleh jadi sikap dan perbedaan politik Din Syamsuddin terhadap pemerintahan Jokowi saat ini membuat pendukung Jokowi tidak berkenan, tetapi bukan berarti juga bisa menjadi pembenaran untuk menuduh Din Syamsuddin radikal, bukan? Sikap sedikit-sedikit menuduh radikal adalah mentalitas buzzer yang memang sering sok paling Pancasilais, apakah GAR-ITB juga memilih sikap semacam itu?

Tuduhan, ungkapan, nyinyiran, atau apapun yang sedikit-sedikit menuduh radikal pada individu atau kelompok muslim tertentu yang akhir-akhir ini marak, terutama di media sosial, juga perlu dihindari. Pada batas tertentu sikap itu sangat kental bernuansa islamofobia.

Sementara agama adalah urusan yang paling privat di ulu hati setiap individu. Jika soal keislaman terus-menerus disoal, direndahkan, didiskreditkan, banyak umat Islam yang justru merasa terganggu. Lama-lama bisa jengkel dan berontak juga.

Perbedaan politik tidak lantas mensyaratkan perbedaan ideologi yang bertolak belakang secara diametral. Jika tidak mendukung pemerintah, itu tidak bisa ditafsirkan sebagai tidak mendukung Pancasila dan ingin mendirikan negara agama. Itu pikiran yang keliru dan berlebihan. Menunjukkan ketidakdewasaan berpolitik karena dikaburkan waham dan kecurigaan.

Rasanya dalam situasi saat ini kita perlu belajar dua hal. Pertama, belajar tentang perbedaan. Bahwa dalam demokrasi perbedaan pilihan, sikap dan ekspresi itu sesuatu yang wajar dan dilindungi hak-haknya. Kita tak bisa mengandaikan semua orang sama seperti pikiran dan pendapat kita. Orang bisa mengemukakan pikiran dan perbedaan pendapatnya masing-masing di ruang publik.

Namun, kedua, kita juga perlu belajar soal komunikasi di ruang publik. Tentang bagaimana menyatakan kritik, bagaimana mengungkapkan sikap perbedaan politik, bagaimana menyampaikan ketidaksetujuan terhadap sesuatu tanpa dilandasi kebencian dan egoisme ‘pokoknya saya yang benar!’.

Kegagalan kita berkomunikasi di ruang publik inilah yang sering menjadi pangkal dari berbagai permasalahan, termasuk polemik seputar Din Syamsuddin dan GAR-ITB ini.

Saya percaya Din Syamsuddin adalah tokoh yang berintegritas dan selalu memiliki komitmen tinggi dalam membela moderasi, bahkan mempromosikan Islam wasthiyah (Islam tengahan) khas Indonesia kepada dunia.

Tak ada sedikitpun alasan untuk mengkategorikannya sebagai tokoh radikal, apalagi jika mengingat jasa-jasanya baik sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ketua MUI, dan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban.

Pun saya percaya GAR-ITB memiliki rasa cinta dan komitmen yang sangat tinggi untuk mencintai serta menjaga keutuhan republik ini.