Lalu bagaimana kita melihat polemik sampah yang diciptakan Basari Barus, Risma dan Anies?
Manajemen sampah yang mereka bicarakan adalah urusan teknikal yang seharusnya dapat dipecahkan dalam standar logik tertentu.
Soal teknikal, Anies sudah mengarahkan sampah-sampah nantinya akan dihancurkan di tempat pengelolaan sampah intermediary treatment facility (ITF), yang saat ini dibangun di Sunter. Ada 4 ITF yang akan dibangun di Jakarta. Masing-masing akan mengolah 2.200 ton sampah dan menghasilkan listrik 35 MW per ITF serta penghematan anggaran.
Mengapa saya katakan ini logika standar, karena 35 tahun lalu, professor Hasan Purbo dari arsitektur ITB dan professor Johan Silas dari ITS sudah sering menyampaikan soal teknik manajemen persampahan dan juga dikonversi jadi energi.
Alternatif lama, di mana sampah ditimbun dalam kawasan seperti daerah Bantar Gebang, Bekasi, tentu semakin sulit karena harga tanah semakin mahal. Tapi, itu bisa menjadi lebih murah jika rencana lama mencari tempat penampungan sampah di luar Jawa.
Perbedaan harga tanah malah membuat Amerika, Australia, Hongkong, Selandia Baru mengekspor sampah-sampah mereka ke pulau Jawa. Yang justru ribut saat ini karena banyak mengandung racun.
Jadi, perdebatan yang dilontarkan Bestari Barus dan gaya Risma menggurui Anies tentang sampah, bukanlah persoalan hakiki membangun karakter manusia, melainkan hanya soal teknikal. Untuk itu Anies tidak perlu terlalu menanggapi.
Persoalan dasar sampah bukanlah manajemen teknikal, melainkan membangun kesadaran warga mencintai lingkungan hidup, pro green, anti plastic, save water, kali bersih. [end]
Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle (SMC)