Saham ‘Ponzi’ GoTo Tidak Layak Masuk Bursa: Wajib Diselidiki

Alasan kedua adalah profitabilitas. Gojek dan Tokopedia sejak berdiri sampai merger menjadi GoTo selalu rugi, dan ruginya semakin membesar.

Rugi GoTo tahun 2021 mencapai Rp 22,5 triliun dan 2022 (9 bulan) mencapai Rp 20,7 triliun, sehingga total rugi dalam 1 tahun dan 9 bulan mencapai Rp 43,2 triliun, atau 43,5 persen dari akumulasi kerugian selama berdiri.

Total akumulasi rugi GoTo sampai akhir tahun 2021, sebelum penawaran perdana, mencapai Rp 79,2 triliun. Dengan total rugi sebesar ini, GoTo tidak akan bisa bagi dividen untuk jangka waktu yang sangat lama, sampai akumulasi rugi terkompensasi menjadi positif, yang mungkin tidak akan pernah terjadi.

Karena itu, pengembalian investasi di GoTo hanya dapat diharapkan dari kenaikan harga saham, yang mungkin juga tidak akan pernah terjadi, seperti dikatakan secara eksplisit di dalam prospektus, halaman 141.

Kalau perusahaan tidak bisa bagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public)?

Ketika investor hanya bisa mengharapkan pengembalian investasinya dari kenaikan harga saham, maka konsep ini sama saja seperti spekulasi dan gambling yang mempunyai karakteristik bagaikan ponzi. Artinya, investor yang beli saham GoTo terakhir-terakhir akan menanggung rugi dari semua keuntungan investor-investor terdahulu.

Kedua alasan ini seharusnya menjadi acuan bagi Otoritas Jasa Keuangan-OJK  untuk tidak memberi izin Go Public kepada GoTo.

Dan kedua alasan ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi Telkomsel untuk tidak investasi membeli saham GoTo.

Tetapi, kenapa semua rambu-rambu ini ditabrak? Apakah ada kekuatan yang memaksa untuk menabrak semua rambu-rambu tersebut?

Semoga semua misteri Go Public GoTo dapat segera terungkap. (FNN)